Gayo Lues, 2025 – Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Kabupaten Gayo Lues Tahun Anggaran 2022 mengungkap sejumlah persoalan serius dalam pengelolaan keuangan daerah. Temuan tersebut mencakup kelebihan pembayaran honorarium oleh Inspektorat, belanja operasional tanpa bukti jelas oleh Kecamatan Blangjerango, serta pengelolaan Dana BOS di beberapa sekolah dasar yang tidak efisien.
LHP BPK menjadi instrumen penting dalam mengungkap lemahnya kontrol internal dan pelaksanaan regulasi keuangan, baik di tingkat pengawasan maupun pelaksana teknis di lapangan. Namun dalam klarifikasinya, Sekretaris Dinas Pendidikan Gayo Lues, Zulkarnain, S.Pd, menegaskan bahwa seluruh temuan terkait sektor pendidikan telah diselesaikan secara tuntas, sesuai rekomendasi BPK.
Salah satu sorotan BPK tertuju pada Inspektorat Gayo Lues, lembaga yang justru menjadi garda depan pengawasan keuangan daerah. Dalam LHP ditemukan bahwa inspektorat membentuk Tim Survei Penilaian Integritas (SPI) dengan struktur dan honorarium yang tidak sesuai Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2020. Misalnya, jabatan “Pembina” menerima honor Rp10.200.000 padahal batas maksimal hanya Rp3.825.000. “Wakil Pembina” menerima Rp8.925.000 dari seharusnya Rp3.825.000, dan “Penanggung Jawab” menerima Rp12.750.000 padahal batasannya hanya Rp6.375.000. Total kelebihan pembayaran dalam satu kegiatan mencapai Rp36.855.000.
Lebih lanjut, BPK mencatat bahwa pembayaran honor menggunakan satuan orang/hari (OH), padahal seharusnya orang/bulan (OB). Tim pelaksana juga hanya dibentuk melalui SK Kepala SKPK, tanpa pengesahan dari Sekretaris Daerah atau Bupati. Tiga kegiatan utama yang dibiayai inspektorat menghabiskan dana Rp470.970.000, sementara berdasarkan standar seharusnya hanya Rp284.850.000, sehingga terdapat kelebihan pembayaran sebesar Rp186.120.000. Ini adalah indikasi kuat dari pemborosan anggaran negara.
Tak hanya itu, Kecamatan Blangjerango juga tercatat dalam LHP melakukan belanja operasional senilai Rp73.634.750 tanpa dokumen pertanggungjawaban yang lengkap dan memadai. Belanja tersebut dinilai tidak memiliki rincian kegiatan yang jelas, sehingga melanggar prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Di sektor pendidikan dasar, BPK menemukan bahwa sejumlah sekolah di Kecamatan Blangjerango memiliki sisa Dana BOS yang tidak digunakan secara efisien. Tujuh sekolah dasar masing-masing memiliki saldo sisa dana, antara lain: SDN 1 Blangjerango sebesar Rp13.359.000, SDN 2 Rp11.569.000, SDN 3 Rp8.850.000, SDN 4 Rp7.419.000, SDN 5 Rp9.060.000, SDN 6 Rp6.750.000, dan SDN 7 sebesar Rp3.300.000. Jika dijumlahkan, total dana BOS yang tidak digunakan mencapai lebih dari Rp60 juta, dan nilai ini belum termasuk sisa dana di sekolah-sekolah lain yang tidak termasuk dalam sampel pemeriksaan BPK.
BPK juga menemukan adanya keterlambatan penyetoran PPh dan PPN dari penggunaan Dana BOS di beberapa sekolah, yang berpotensi menimbulkan sanksi administrasi dan menunjukkan lemahnya tata kelola keuangan pada satuan pendidikan.
Menanggapi laporan tersebut, Sekretaris Dinas Pendidikan Gayo Lues, Zulkarnain, S.Pd, menyampaikan bahwa dua temuan utama yang berkaitan dengan pendidikan, yakni keterlambatan penyetoran pajak oleh SDN 8 Blangjerango dan sisa dana BOS di beberapa sekolah, telah ditindaklanjuti sesuai rekomendasi. “Pertama, keterlambatan pembayaran pajak oleh SDN 8 sudah diselesaikan saat itu juga. Sudah kami setor sesuai dengan arahan,” ujarnya.
Terkait sisa dana BOS, Zulkarnain menjelaskan bahwa hal tersebut terjadi karena sebagian dana belum sempat dipergunakan hingga akhir tahun anggaran. Dana tersebut tetap berada di rekening sekolah dan dijadikan modal awal tahun berikutnya, lalu direncanakan kembali dalam dokumen Rencana Kegiatan Sekolah (RKS) tahun selanjutnya. “Misalnya dana BOS tahun 2022 Rp50 juta, dan ada sisa Rp10 juta, maka tahun 2023 sekolah itu menerima BOS Rp50 juta lagi, dan dana awalnya jadi Rp60 juta. Semuanya disusun kembali dalam RKS,” jelasnya.
Menurut Zulkarnain, seluruh tindak lanjut atas temuan sudah diserahkan ke Inspektorat Kabupaten Gayo Lues selaku perpanjangan tangan BPK di daerah. Ia memastikan bahwa tidak ada temuan yang belum ditindaklanjuti oleh pihak Dinas Pendidikan. “Kami sudah sampaikan semua dokumen dan tindak lanjutnya ke Inspektorat. Itu dilakukan sebelum 2023 berakhir. Jadi seluruh temuan sudah diselesaikan,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa berdasarkan isi LHP, tidak ada temuan baru yang menyasar sekolah lain, selain yang sudah disebutkan secara eksplisit dalam laporan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan BOS di sekolah-sekolah lain dinilai sesuai ketentuan. “Kalau tidak ada sekolah lain yang disebut dalam LHP, berarti tidak ada masalah di sekolah lain. Kita merujuk pada apa yang menjadi hasil resmi dari BPK,” ujarnya lagi.
Sebagai tindak lanjut atas temuan ini, BPK RI merekomendasikan agar Pemerintah Kabupaten Gayo Lues meminta Inspektorat mengembalikan kelebihan honorarium ke kas daerah, menyesuaikan pembayaran honor dengan Standar Biaya Umum sesuai Perpres No. 33 Tahun 2020, menyusun tim kegiatan dengan struktur yang sah secara administratif, memastikan sisa dana BOS dimanfaatkan untuk kegiatan prioritas pendidikan, serta melakukan verifikasi dan tertib administrasi atas belanja operasional dan pajak oleh kecamatan dan sekolah.
Secara total, nilai temuan keuangan yang disorot BPK mencakup kelebihan honorarium SPI sebesar Rp36.855.000, kelebihan honorarium kegiatan sebesar Rp186.120.000, belanja Inspektorat senilai Rp470.970.000, belanja tanpa bukti Blangjerango Rp73.634.750, sisa dana BOS tujuh sekolah lebih dari Rp60 juta, serta indikasi keterlambatan setor pajak di lebih dari lima sekolah.
Temuan-temuan ini menggambarkan bahwa tata kelola keuangan daerah di Gayo Lues masih membutuhkan pengawasan yang ketat dan reformasi menyeluruh. Pemerintah daerah, khususnya Penjabat Bupati Gayo Lues, diharapkan bisa mengambil langkah konkret untuk memperbaiki sistem, memperkuat kontrol internal, dan meningkatkan kapasitas pelaksana di lapangan. Tanpa upaya serius, masalah serupa akan terus berulang dan membawa dampak negatif terhadap pelayanan publik, terutama dalam sektor pendidikan dasar yang bersentuhan langsung dengan masa depan anak-anak di Gayo Lues. (SAMBO/TIM)