PONTIANAK — Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Pontianak kembali menjadi sorotan publik setelah seorang narapidana diduga melakukan aksi penipuan besar-besaran dari balik jeruji. Pelaku diketahui bernama MAHDI bin Junaidi Amir alias MEN, yang saat ini menjalani masa hukuman di lapas tersebut.
Kasus ini mencuat setelah Supan Supian, warga Palangkaraya, melaporkan bahwa dirinya menjadi korban penipuan senilai Rp400 juta dengan modus lelang mobil sitaan dari KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang). Dalam aksinya, Mahdi menjanjikan korban bisa mendapatkan kendaraan dengan harga murah hasil lelang negara. Korban pun terpedaya dan melakukan sejumlah transfer antara 23 April hingga 8 Mei 2025. Namun, mobil yang dijanjikan tak pernah diterimanya.
Lebih mencengangkan lagi, korban mengaku memiliki bukti berupa tangkapan layar video call dengan Mahdi yang dilakukan dari dalam Lapas Pontianak, serta bukti transfer bank sebagai alat bukti pendukung. Atas dasar bukti tersebut, Supan Supian bersama seorang narasumber mendatangi Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kalimantan Barat untuk meminta klarifikasi. Pihak Kanwil kemudian menghubungi Kepala Lapas Pontianak guna memastikan keberadaan Mahdi, yang ternyata benar sedang menjalani hukuman di sana.
Keesokan harinya, korban dan narasumber menuju Lapas Kelas IIA Pontianak untuk bertemu langsung dengan Mahdi. Sayangnya, mereka mengaku dipersulit oleh pihak lapas. Mereka harus menunggu berjam-jam di depan pintu portir tanpa kejelasan hingga akhirnya tidak diizinkan masuk.
Menurut narasumber, situasi semakin mencurigakan ketika ia melihat kasur springbed besar dibawa masuk ke dalam blok hunian napi, tepatnya di kamar C2 atas nama seorang warga binaan bernama Nanang. Hal ini memunculkan dugaan adanya fasilitas istimewa bagi sejumlah narapidana tertentu. Saat kembali ke Kanwil untuk menyampaikan keluhan, jawaban Kakanwil Dirjen Pemasyarakatan Kalbar, “Kalau napi tidak ingin bertemu, bagaimana kami harus memaksa?”, dinilai sangat mengecewakan.
Narasumber menyatakan bahwa pernyataan tersebut janggal, mengingat laporan lengkap dengan bukti kuat telah diserahkan. Ini memunculkan dugaan kuat adanya pembiaran atau bahkan perlindungan terhadap pelaku yang tetap bisa melakukan aksi kriminal meski sedang menjalani hukuman. “Bagaimana lapas bisa bersih dari pungli dan praktik negatif jika kejahatan seperti ini dibiarkan? Ini sangat memprihatinkan,” ujar narasumber dengan nada kesal.
Ia juga menyoroti lemahnya implementasi dari 13 program akselerasi reformasi pemasyarakatan yang dicanangkan oleh Kementerian Hukum dan HAM melalui Dirjen Pemasyarakatan. Menurutnya, kasus ini membuktikan bahwa transparansi dan pengawasan di dalam lapas masih sangat rentan terhadap penyimpangan.
Masyarakat serta aktivis pemasyarakatan mulai mendesak agar dilakukan audit internal dan investigasi menyeluruh terhadap pengelolaan Lapas Kelas IIA Pontianak. Banyak pihak khawatir bahwa kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi, melainkan fenomena gunung es dari maraknya praktik ilegal yang dilakukan oleh narapidana dengan dukungan oknum petugas lapas.
Hingga berita ini ditayangkan, pihak Lapas Kelas IIA Pontianak belum memberikan tanggapan resmi atas tudingan tersebut. Demikian pula Kakanwil Ditjen Pemasyarakatan Kalbar belum mengeluarkan pernyataan resmi untuk menjelaskan sikap dan prosedur yang diambil dalam menangani laporan masyarakat. Kasus ini menjadi preseden buruk bagi upaya reformasi di tubuh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sekaligus mengundang pertanyaan besar tentang efektivitas kontrol internal dan pengawasan terhadap perilaku narapidana yang tetap bisa melakukan kejahatan dari dalam sel. (*)