OPINI – Aceh, provinsi yang kaya akan sejarah dan sumber daya alam, ironisnya masih terjerat dalam kemiskinan yang menggigit. Pertanyaan yang muncul adalah: apa yang salah di Aceh?
Secara politik, Aceh telah melalui perjalanan panjang dari konflik bersenjata yang merusak hingga akhirnya meraih otonomi khusus (Otsus). Namun, di balik lapisan ini terdapat tata kelola yang rapuh dan korupsi yang menggerogoti dana pembangunan. Banyak proyek-proyek infrastruktur besar yang berjalan lambat atau bahkan mandek karena politik lokal yang berbelit dan kepentingan pribadi yang mendominasi.
Sosial-budaya, Aceh memang dikenal dengan kekayaan tradisi Islamnya, tetapi dalam realitas sehari-hari, budaya ini kadang digunakan sebagai alat untuk mempertahankan status quo yang tidak merata. Kesenjangan sosial yang tajam masih terlihat jelas antara kota dan desa, antara elite politik dan masyarakat pedesaan yang terpinggirkan. Budaya toleransi yang seharusnya menjadi kekuatan malah sering diabaikan dalam praktek politik dan pembangunan.
Ekonomi Aceh, meskipun memiliki potensi besar dari sektor perkebunan dan sumber daya alam lainnya, masih terlalu tergantung pada komoditas-komoditas tertentu yang rentan terhadap fluktuasi harga global. Kurangnya keberanian untuk melakukan diversifikasi ekonomi dan menggairahkan sektor-sektor baru, seperti pariwisata berkelanjutan atau industri kreatif, juga menahan Aceh dalam jerat kemiskinan.
Infrastruktur yang belum merata, pendidikan yang belum merata, dan layanan kesehatan yang masih jauh dari memadai merupakan gambaran lain dari tantangan-tantangan yang dihadapi Aceh. Bencana alam yang sering melanda wilayah ini turut memperparah situasi, menambah beban yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah dan masyarakat.
Untuk menangani permasalahan ini, Aceh tidak hanya membutuhkan reformasi kebijakan yang mendalam, tetapi juga perubahan sikap politik dan budaya yang lebih inklusif dan progresif. Transparansi dalam pengelolaan dana publik, pemberdayaan masyarakat untuk mengawasi dan mengawal proses pembangunan, serta kebijakan ekonomi yang berorientasi pada keadilan dan keberlanjutan harus menjadi prioritas utama.
Aceh memiliki potensi besar untuk bangkit dan menjadi contoh keberhasilan dalam pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Namun, untuk mencapai tujuan tersebut, semua pihak harus bersatu dan berkomitmen untuk mengubah paradigma pembangunan yang sudah ada dan mewujudkan perubahan nyata bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan.
Oleh: Ahmad Yusuf | Presma USM