Subulussalam — Perilaku arogan pejabat publik kembali jadi sorotan tajam. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Kasat Pol PP) Kota Subulussalam, Abdul Malik, dilaporkan melakukan serangkaian tindakan intimidatif terhadap warga dan wartawan di sebuah warung kopi. Insiden terjadi pada Rabu siang, 16 Juli 2025, di mana Abdul Malik secara sepihak menuding warung kopi tersebut sebagai tempat maksiat. Tanpa dasar hukum dan tanpa surat resmi, ia juga diduga membawa kabur perangkat speaker dari lokasi, serta melakukan intimidasi verbal terhadap pengunjung dan jurnalis yang berada di sana.
Tindakan sepihak tersebut menimbulkan kegemparan di tengah masyarakat. Warung kopi yang dituding merupakan salah satu tempat berkumpul para jurnalis dan pegiat LSM, kerap digunakan untuk berdiskusi dan membicarakan isu-isu sosial. “Ini bukan tempat maksiat. Ini tempat kami diskusi, tempat kami bekerja. Tiba-tiba datang, tuduh sembarangan, ambil barang, bentak orang,” ujar seorang saksi yang berada di lokasi saat kejadian.
Tudingan tanpa dasar yang dilontarkan Abdul Malik dinilai telah melanggar asas praduga tak bersalah sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.” Dalam konteks ini, setiap tindakan penertiban harus berdasarkan hukum, bukti yang kuat, dan prosedur yang sah, bukan asumsi dan emosi.
Tak hanya itu, dugaan perampasan speaker tanpa prosedur resmi dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian atau perampasan barang milik orang lain, jika terbukti tidak ada dasar hukum atau dokumen penyitaan yang sah. Tindakan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 39 ayat (1) KUHAP yang mengatur bahwa penyitaan hanya dapat dilakukan oleh penyidik dan dengan surat izin dari ketua pengadilan negeri.
Lebih jauh, intimidasi terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugas jurnalistik dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 18 ayat (1), yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik dapat dipidana paling lama dua tahun penjara atau denda paling banyak Rp 500 juta.
“Ini bukan hanya soal etika pejabat, ini bisa masuk wilayah pidana. Ada indikasi pelanggaran hukum yang nyata,” kata seorang pengacara yang diminta pandangannya atas kejadian ini.
Warga dan sejumlah aktivis HAM lokal mengecam keras tindakan Abdul Malik yang dinilai tidak mencerminkan sikap seorang pejabat negara. Mereka menyebut kejadian itu sebagai bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang harus disikapi secara serius oleh pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
“Dia pejabat publik. Bukan raja. Tidak bisa seenaknya tuduh orang, rampas barang, dan bungkam wartawan,” ujar seorang tokoh masyarakat. Ia menilai sikap Kasat Pol PP tersebut berpotensi merusak relasi sosial antara pemerintah dan rakyat, serta menimbulkan trauma bagi warga yang menjadi korban arogansi kekuasaan.
Ironisnya, hingga berita ini diturunkan, Abdul Malik belum memberikan tanggapan resmi. Saat sejumlah awak media mencoba mengonfirmasi, ia dikabarkan enggan memberikan keterangan dan menolak diwawancarai. Sikap tertutup ini justru memicu kecurigaan publik dan memperkuat kesan bahwa ia menghindari tanggung jawab.
Ketertutupan tersebut juga bertentangan dengan prinsip akuntabilitas pejabat publik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, yang menuntut setiap pejabat untuk terbuka terhadap kritik dan pengawasan.
Masyarakat kini menunggu respons tegas dari Wali Kota Subulussalam dan aparat penegak hukum atas insiden ini. Jika dibiarkan, bukan tak mungkin kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah daerah akan terus terkikis. Tindakan tegas terhadap arogansi pejabat bukan hanya soal disiplin, tetapi soal menegakkan prinsip negara hukum.
Redaksi : [Syahbudin Padank]Team FW FRN Fast Respon counter Polri Nusantara