BANDA ACEH | Pemerintah Provinsi Aceh menegaskan larangan pengambilan kayu-kayu yang terbawa banjir bandang dan tanah longsor di wilayah-wilayah terdampak bencana. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, meminta seluruh pihak—baik warga maupun relawan—untuk tidak memanfaatkan situasi dengan mengambil atau membawa keluar batang-batang kayu yang hanyut tanpa izin otoritas berwenang.
“Siapa pun dilarang mengambil apalagi membawa keluar kayu-kayu tersebut tanpa izin dari otoritas. Ini bukan bencana biasa, ini peristiwa kompleks yang berkaitan erat dengan masalah lingkungan,” ujar Gubernur yang akrab disapa Mualem melalui Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, dalam siaran pers yang dirilis pada Kamis (11/12/2025).
Larangan ini disampaikan menyusul kekhawatiran pemerintah terhadap praktik-praktik yang dinilai dapat mengganggu proses penyelidikan terhadap penyebab bencana. Menurut Pemerintah Aceh, kayu-kayu tersebut berpotensi menjadi alat bukti dalam pengusutan hukum oleh aparat penegak hukum (APH), terkait dugaan pembalakan liar atau aktivitas ilegal lain yang berkaitan dengan kerusakan lingkungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kayu-kayu ini bukan semata material bekas banjir, tapi bisa menjadi bagian dari barang bukti dalam proses investigasi. Maka, semua pihak harus berhati-hati agar tidak melanggar prosedur hukum yang berlaku,” ujar Muhammad MTA.
Gubernur juga mengingatkan bahwa bencana ini bukan sebatas peristiwa alam biasa. Kompleksitas yang terjadi, kata dia, berkaitan erat dengan dinamika ekosistem, pengelolaan hutan yang belum optimal, serta potensi aktivitas ilegal yang berdampak pada kerusakan lingkungan secara sistemik.
Menanggapi dinamika di lapangan, Mualem mengimbau seluruh unsur pemerintah, aparat keamanan, serta kelompok relawan dan masyarakat yang terlibat dalam evakuasi serta pembersihan, untuk mengarahkan batang-batang kayu hanyut ke titik-titik pengumpulan yang terdata dengan jelas.
“Kami berharap dinas terkait bersama jajaran di lapangan menentukan lokasi pengumpulan kayu. Semuanya harus tercatat agar penanganannya tertib, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Pemerintah Aceh juga meminta masyarakat setempat untuk berperan aktif mengawasi gerak-gerik mencurigakan di sekitar kawasan bencana, guna mencegah terjadinya penjarahan kayu secara ilegal yang dapat memperburuk kondisi lingkungan yang sudah hancur akibat banjir dan longsor.
“Kami ingin semua pihak tetap menjaga semangat bersama dalam penanganan bencana. Ini bukan saatnya mencari keuntungan pribadi, tetapi momen untuk bergerak bersama demi keselamatan dan kelestarian wilayah,” ujar Muhammad MTA.
Larangan dan himbauan ini dikeluarkan seiring dengan meningkatnya intensitas penemuan kayu-kayu besar yang terseret arus banjir bandang dan tertumpuk di banyak titik sepanjang aliran sungai dan lereng bukit, terutama di kawasan Gayo Lues, Aceh Tenggara, dan Bener Meriah. Pemerintah Provinsi Aceh tengah mengoordinasikan langkah strategis bersama instansi terkait dalam menangani penumpukan material banjir tersebut secara terorganisir.
Langkah ini juga bertujuan menghindari kesalahpahaman atau konflik di lapangan antara warga dengan petugas yang bekerja menangani dampak bencana. Gubernur menekankan bahwa penggunaan kayu hanya dibolehkan apabila dibutuhkan secara langsung di lapangan untuk kebutuhan darurat, dan tetap harus dalam pengawasan serta pendataan oleh petugas yang berwenang.
Kebijakan ini menjadi bagian dari penegasan Pemerintah Aceh terhadap komitmen menjaga kelestarian lingkungan, mendorong penegakan hukum atas kejahatan kehutanan, serta memastikan agar setiap langkah pemulihan pascabencana berjalan sesuai prosedur dan tidak menimbulkan persoalan baru di kemudian hari. (*)


































