GAYO LUES — Banjir bandang dan longsor besar yang melanda Kabupaten Gayo Lues sejak awal Desember 2025 telah menyebabkan terputusnya hampir seluruh jalur darat yang menghubungkan wilayah ini dengan daerah lain di Aceh. Hingga Minggu (8/12/2025), laporan pemerintah daerah mencatat lebih dari 90 persen jaringan jalan, mulai dari jalan nasional hingga jalur kecamatan, tidak lagi bisa dilalui.
Jembatan-jembatan penghubung putus, badan jalan amblas, dan longsoran tanah menimbun akses vital, menjadikan Gayo Lues dalam kondisi terisolasi total. Akibatnya, suplai pangan, energi, hingga jaringan komunikasi praktis terhenti — memicu krisis di tengah puluhan ribu warga yang kini hidup dalam situasi darurat.
Keluhan warga mulai mengalir, salah satunya disampaikan oleh Mak Sal (49), warga Blangkejeren, yang berkesempatan menemui Gubernur Aceh, Mualim. Ia menggambarkan kondisi sehari-hari yang makin menekan, mulai dari ketiadaan LPG dan beras, hingga hilangnya komunikasi dengan keluarga yang berada di kecamatan lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Masyarakat bukan hanya kekurangan, tapi sudah berada di titik genting. Kami benar-benar tidak tahu apakah esok kami masih bisa makan,” kata Mak Sal. Ia menuturkan bahwa pasokan bahan pokok dari luar sudah berhenti total. Di sisi lain, jaringan seluler mati dan listrik padam, membuat kondisi malam hari seperti “menunggu fajar dalam ruang kosong.”
Dalam kesaksiannya, Mak Sal turut menyampaikan kecemasannya atas keadaan keluarga di wilayah lain yang tidak bisa dihubungi. Saat ini, satu-satunya informasi yang mereka dapatkan hanyalah melalui siaran radio tradisional atau kabar dari media, yang tak semuanya mencakup kondisi terkini. Ia menambahkan, dalam keadaan terisolasi, warga bahkan tidak memiliki sarana untuk mengadu atau meminta pertolongan.
Meski banyak warga tidak kehilangan rumah, dampak ekonomi akibat bencana tetap menghantam keras. Usaha kecil terhenti karena distribusi logistik lumpuh, bahan bakar lenyap dari pasaran, dan sekolah diliburkan karena transportasi tidak berfungsi. Sementara itu, kebutuhan mendasar anak-anak seperti susu, bubur bayi, dan vitamin kini nyaris tak bisa diperoleh.
“Penghasilan kami hilang. Kolam ikan habis, ternak hanyut, kebun rusak. Tapi cicilan usaha harus tetap jalan,” ujarnya. Di tengah situasi ini, banyak keluarga hanya bisa berharap, meski sebagian mengaku sudah pasrah. Namun, mereka tetap menaruh harapan kepada pemerintah agar turun tangan untuk menyelamatkan wilayah yang terisolasi ini.
Situasi krisis yang melanda Gayo Lues telah mendorong pemerintah daerah untuk mengeluarkan status tanggap darurat. Tim gabungan dari instansi teknis telah dikerahkan untuk membuka akses secara bertahap, namun cuaca yang tidak bersahabat membuat pekerjaan alat berat sering tertunda. Kondisi geografis yang terjal dan banyaknya titik rawan longsor memperpanjang waktu penanganan.
Laporan Badan Penanggulangan Bencana Daerah menyebutkan bahwa bantuan logistik telah mulai disalurkan melalui jalur udara ke beberapa titik terdampak. Namun, keterbatasan armada dan cuaca buruk menghambat distribusi secara merata ke seluruh penjuru kabupaten.
Pemerintah daerah juga menyampaikan permohonan kepada pemerintah pusat untuk mengirim dukungan tambahan, baik berupa helikopter logistik, bahan pangan, BBM, maupun tim medis. Bupati Gayo Lues, Ramli Hasan, menegaskan bahwa kondisi yang dihadapi warganya saat ini bukan sekadar keterbatasan akses, tetapi sudah mengancam ketahanan hidup masyarakat di tengah situasi yang tak menentu.
Bencana yang melanda Gayo Lues menunjukkan bahwa ancaman bencana di daerah terpencil bukan hanya soal gelombang air atau guguran tanah, tetapi juga soal hilangnya akses terhadap kehidupan itu sendiri. Ketika seluruh jalur terputus dan komunikasi lenyap, ketangguhan warga dan kecepatan respons pemerintah menjadi satu-satunya harapan. (Abdiansyah)


































