GAYO LUES – Ketegangan melanda masyarakat di sejumlah desa di Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Ratusan ekor harimau dilaporkan telah dilepas ke kawasan hutan yang berdekatan langsung dengan pemukiman warga, bahkan sebagian masuk ke area perkebunan penduduk. Warga yang sejak lama tinggal di daerah pinggiran hutan kini merasa terancam, hidup dalam ketakutan, dan mempertanyakan kebijakan pemerintah yang dinilai mengabaikan keselamatan manusia demi konservasi satwa.
Jack Gayo, salah satu tokoh masyarakat Gayo Lues, dengan tegas mengungkapkan keresahannya. Ia menilai program pelepasan harimau ini tidak hanya membahayakan keselamatan warga, tetapi juga mencerminkan bentuk penjajahan terselubung terhadap masyarakat adat yang telah mendiami wilayah itu jauh sebelum Indonesia merdeka.
“Mungkin itu kata yang tepat jika ditujukan untuk orang seperti kita yang berada di pedesaan, terutama mereka yang bermukim di daerah pinggiran. Gayo Lues adalah dataran tinggi yang dikelilingi hutan, banyak pemukiman di pinggiran hutan yang sudah ada sebelum Indonesia merdeka. Tapi sering kita dengar, kelompok yang memanusiakan binatang itu mengatakan masyarakat itulah yang mengganggu spesies mereka. Boleh kita memuliakan binatang, tapi jangan lupa memuliakan manusia juga,” ujar Jack Gayo kepada wartawan, Rabu (21/5/2025).
Menurutnya, lokasi pelepasan harimau sangat dekat dengan tempat tinggal warga. Kondisi ini menimbulkan keresahan dan rasa takut yang terus menghantui aktivitas harian masyarakat, terutama yang bergantung pada hasil kebun yang berada di tepi hutan.
“Menurut saya, masyarakat Gayo Lues hari ini sedang dijajah secara tidak langsung. Ratusan ekor harimau sudah dilepaskan ke perhutanan Gayo Lues, dan lokasi pelepasannya paling jauh dari pemukiman warga hanya dua kilometer, bahkan ada yang di perkebunan warga,” ungkapnya.
“Kesepakatan apa sebenarnya selama ini yang sudah dibuat pemerintah, sehingga Gayo Lues ini dijadikan kandang harimau?” tambahnya dengan nada geram.
Jack juga menyoroti peran para pemangku kepentingan, baik dari kalangan LSM lingkungan maupun pemerintah, yang menurutnya lebih mengutamakan keberlanjutan program konservasi daripada mendengar aspirasi masyarakat lokal.
“Saya yakin kita masih punya hati. Mari kita coba sejenak untuk tidak melawan nurani kita masing-masing. Jangan karena hanya program ini menjadi sumber penghasilan tetap Anda, lalu kemudian Anda korbankan masyarakat banyak.”
Ia menyerukan agar Pemerintah Aceh dan Pemerintah Daerah Gayo Lues segera mengusulkan peninjauan ulang terhadap zona inti Taman Nasional Gunung Leuser, terutama yang berdekatan langsung dengan pemukiman warga. Jika tidak memungkinkan, menurutnya, maka solusi terbaik adalah merelokasi warga secara layak dan manusiawi dari desa-desa yang terdampak.
“Pemerintah Aceh dan Pemda Gayo Lues harus mengusulkan peninjauan ulang zona inti Gunung Leuser demi keselamatan masyarakat Gayo Lues. Jika tidak memungkinkan, maka usulkan program relokasi warga Gayo Lues yang ada di desa-desa yang berdekatan dengan hutan lindung,” tegasnya.
Beberapa desa seperti Desa Agusen, Pining, dan Badak dilaporkan menjadi wilayah yang paling dekat dengan zona pelepasan satwa buas tersebut. Aktivitas berkebun, mencari kayu, dan menyadap getah kini praktis lumpuh karena rasa takut yang mencekam.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari pihak Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (BBTNGL), Pemerintah Kabupaten Gayo Lues, maupun Pemerintah Aceh mengenai desakan warga dan kebenaran jumlah harimau yang telah dilepaskan. Masyarakat berharap ada perhatian serius dari pemerintah sebelum kondisi memburuk dan korban mulai berjatuhan. (red)