Banda Aceh – Suasana halaman Kantor Gubernur Aceh, Senin siang (16/6/2025), berubah menjadi lautan manusia ketika ratusan massa yang tergabung dalam aliansi Gerakan Aceh Melawan menggelar aksi unjuk rasa menolak Keputusan Menteri Dalam Negeri terkait status empat pulau yang disengketakan antara Aceh dan Sumatera Utara.
Sejak pukul 12.30 WIB, massa dari berbagai kalangan—terutama mahasiswa dari sejumlah universitas ternama di Aceh—telah memadati lokasi. Mereka datang dengan membawa bendera Bulan Bintang, mengenakan almamater kampus, dan mengangkat spanduk yang berani bertuliskan “Referendum”.
Di antara suara yel-yel dan lagu perjuangan seperti Aceh Pusaka Nanggroe dan Syahid Aceh, semangat demonstran semakin berkobar. Mereka menolak keras Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang menetapkan empat pulau—Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek—sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Dalam orasinya, M. Rizki, salah seorang tokoh demonstrasi, menyampaikan kemarahan yang membara terhadap keputusan pemerintah pusat.
“Republik Indonesia selalu mengingkari janji, dari masa Soekarno hingga hari ini. Empat pulau kami dicaplok Sumut dan ditetapkan secara sepihak oleh Tito Karnavian. Kami minta Tito dicopot dari jabatan Menteri!” teriaknya dengan lantang, disambut gemuruh sorakan massa.
Aksi ini tidak hanya menunjukkan penolakan terhadap keputusan administratif, tapi juga menggambarkan ketegangan emosional yang mendalam antara rakyat Aceh dan pemerintah pusat. Bendera Bulan Bintang, simbol lama perjuangan Aceh yang sarat makna historis, kembali dikibarkan secara terbuka, menunjukkan bahwa luka lama belum sepenuhnya sembuh.
Penggunaan spanduk bertuliskan “Referendum” pun dinilai banyak pihak sebagai sinyal kuat bahwa sebagian elemen masyarakat Aceh masih menyimpan aspirasi merdeka, atau setidaknya, menuntut hak penentuan nasib sendiri sebagaimana diatur dalam MoU Helsinki 2005.
Di lokasi, aparat kepolisian dan Satpol PP tampak siaga penuh. Beberapa demonstran membawa properti berbentuk senjata mainan dan pelatuk tembakan yang menyerupai alat perang, memunculkan kekhawatiran akan eskalasi. Namun hingga sore hari, aksi tetap berlangsung dalam koridor tertib meskipun penuh ketegangan.
Aksi ini menjadi titik balik dalam eskalasi konflik administratif antara Aceh dan Sumatera Utara. Publik menanti bagaimana Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan Pemerintah Pusat menanggapi desakan ini—terutama dalam konteks otonomi khusus yang selama ini dijanjikan sebagai jaminan hak-hak istimewa Aceh.
Sampai berita ini diterbitkan, demonstrasi masih terus berlangsung. Massa masih bertahan di halaman kantor gubernur dengan semangat yang belum surut, menuntut keadilan atas apa yang mereka sebut sebagai perampasan wilayah kedaerahan. (*)