Tapaktuan, BARANEWS — Penggarapan ribuan hektar lahan perkebunan oleh PT Aceh Lestari Indo Sawita (PT ALIS) di Aceh Selatan mendapat sorotan tajam dari Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA). Kelompok pemuda ini menilai aktivitas perusahaan tersebut tidak memiliki dasar legalitas yang kuat dan berpotensi merugikan masyarakat serta lingkungan sekitar.
Koordinator GerPALA, Fadhli Irman, menyampaikan bahwa PT ALIS hingga kini belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU), yang merupakan izin utama untuk mengelola lahan perkebunan. Namun demikian, perusahaan tetap melakukan penggarapan di atas lahan seluas 1.357 hektar hanya bermodalkan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR), yang menurut Irman tidak cukup untuk menjadi dasar hukum pelaksanaan aktivitas perkebunan.
Menurut Irman, PKKPR hanyalah dokumen awal yang digunakan untuk mengurus perizinan lain. Dokumen tersebut tidak dapat disamakan dengan izin usaha, melainkan hanya menandakan bahwa rencana kegiatan berada dalam zona yang sesuai tata ruang. Sementara itu, dokumen UKL-UPL, yang hanya berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan, tidak dapat berdiri sendiri tanpa izin yang sah dari otoritas yang berwenang.
Ia mengungkapkan bahwa dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Qanun Nomor 12 tentang Perkebunan, dinyatakan bahwa untuk setiap aktivitas land clearing dan usaha perkebunan harus mengantongi Izin Usaha Perkebunan Budidaya (IUP-B) dan Izin Land Clearing (LC), yang dikeluarkan oleh bupati atau gubernur, tergantung luas dan wilayah lahan yang digarap. Menurutnya, PT ALIS tidak menunjukkan dokumen LC dan IUP-B saat jumpa pers beberapa hari lalu, yang menimbulkan dugaan bahwa aktivitas mereka berjalan tanpa izin tersebut.
Lebih lanjut, Irman menyoroti sejumlah kejanggalan administratif dalam penerbitan dokumen perizinan PT ALIS. Salah satunya adalah penerbitan UKL-UPL pada 1 Mei 2024 yang seharusnya hanya bisa dikeluarkan setelah adanya bukti kepemilikan lahan dan PKKPR. Namun, PKKPR untuk PT ALIS justru baru terbit pada 21 Mei 2024, lebih dari dua pekan setelah UKL-UPL keluar. Hal ini, kata Irman, menimbulkan kecurigaan adanya potensi permainan dalam proses perizinan yang tidak sesuai prosedur.
Irman juga mengungkap bahwa hingga akhir September 2024 masih terdapat masyarakat yang menggugat keberadaan lahan mereka yang masuk ke dalam wilayah PT ALIS. Hal ini memperkuat dugaan bahwa dokumen yang diajukan perusahaan sebagai dasar kepemilikan lahan dalam proses perizinan patut diragukan keabsahannya. Ia mempertanyakan bagaimana bisa suatu perusahaan memperoleh izin lingkungan tanpa terlebih dahulu membuktikan legalitas penguasaan lahannya.
Tidak hanya permasalahan administratif, GerPALA juga menyoroti dampak lingkungan dari keberadaan perusahaan yang berada di dekat Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Jarak yang hanya berkisar 20 hingga 50 meter dari kawasan konservasi dinilai sangat membahayakan kelestarian lingkungan dan ekosistem rawa tersebut. Irman menegaskan bahwa persoalan ini harus dikaji ulang oleh semua pihak yang berwenang.
Meski masyarakat Aceh Selatan terbuka terhadap masuknya investasi, Irman menegaskan bahwa investasi tersebut harus berjalan sesuai aturan hukum yang berlaku dan tidak boleh merugikan masyarakat maupun negara. Ia meminta Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan mengevaluasi kembali semua proses perizinan PT ALIS, termasuk PKKPR, dan mendesak agar Pemkab menyurati Pemerintah Aceh, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan Kementerian Investasi untuk mempertimbangkan penutupan aktivitas perusahaan apabila terbukti terjadi pelanggaran.
Menurut Irman, ini bukan semata soal prosedur administrasi, melainkan menyangkut masa depan lingkungan dan hak masyarakat yang harus dilindungi dari praktik-praktik yang tidak taat hukum. Ia menegaskan bahwa gerakan pemuda akan terus mengawal persoalan ini demi menjaga keadilan dan kelestarian tanah Aceh. (*)