Tapaktuan — Harapan akan hadirnya pendidikan dasar yang inklusif bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu di Aceh Selatan kembali terguncang. Program Sekolah Rakyat (SR) yang digagas Kementerian Sosial RI—yang sejatinya dirancang untuk memperluas akses pendidikan bagi kelompok rentan—mengalami hambatan serius di lapangan. Tidak hanya terganjal masalah teknis, pembangunan sekolah ini kini menjadi medan silang pendapat terbuka antarpejabat daerah.
Perdebatan antara Pelaksana Tugas Kepala Dinas Sosial dan Kepala Dinas Pendidikan Aceh Selatan mencuat ke ruang publik, memperlihatkan buruknya koordinasi lintas organisasi perangkat daerah (OPD) di tubuh pemerintah kabupaten. Proyek strategis nasional itu pun kini menuai kritik tajam dari masyarakat sipil.
Salah satu suara yang lantang disuarakan datang dari Melda Afriza, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala. Ia menilai apa yang terjadi bukan sekadar miskomunikasi teknis, melainkan cerminan dari krisis tata kelola pemerintahan di tingkat daerah.
“Kita sedang menyaksikan kegagalan nyata dalam tata kelola daerah. Ketika program pendidikan untuk masyarakat miskin malah jadi ajang lempar tanggung jawab antar dinas, itu artinya sistem pemerintahan kita sedang krisis koordinasi,” kata Melda saat diwawancarai di Banda Aceh, Selasa (15/7).
Proyek pembangunan Sekolah Rakyat yang berlokasi di kompleks Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Labuhan Haji Tengah sejatinya ditargetkan selesai pada semester awal 2025. Namun hingga pertengahan Juli, progres fisiknya dinilai stagnan. Berdasarkan laporan evaluasi internal Kemensos pada akhir 2024, keberhasilan program SR sangat bergantung pada sinergi daerah. Di Aceh Selatan, dukungan itu tampaknya belum tampak secara utuh.
“Ini proyek strategis nasional. Tapi di Aceh Selatan, justru dijalankan dengan mental sektoral dan ego lembaga. Padahal yang dikorbankan adalah anak-anak dari keluarga tidak mampu yang sangat membutuhkan akses pendidikan layak,” tegas Melda.
Lebih lanjut, ia menyoroti bahwa kelemahan koordinasi antarinstansi mencerminkan rendahnya komitmen terhadap prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), terutama dalam hal efektivitas, transparansi, dan akuntabilitas pelaksanaan program publik.
Menurut Melda, fokus pemerintah tidak boleh berhenti pada seremoni peluncuran atau pelabelan program. “Pemerintah daerah seharusnya tidak hanya bangga dengan launching program. Yang lebih penting adalah memastikan program itu berjalan tuntas, menyentuh sasaran, dan bermartabat bagi rakyat,” ujarnya.
Ia juga meminta Bupati Aceh Selatan untuk tidak tinggal diam. Melda mendesak agar kepala daerah segera melakukan langkah konsolidasi antardinas, mengevaluasi pelaksanaan proyek SR secara menyeluruh, serta menjamin tidak adanya penyimpangan dalam penggunaan anggaran negara.
“Rakyat tidak butuh saling tuding. Rakyat butuh solusi konkret. Dan anak-anak kita tidak boleh menjadi korban dari ego birokrasi yang gagal bekerja sebagai satu kesatuan,” tutupnya. (*)