Banda Aceh — Dalam upaya memperkuat kolaborasi antarinstansi dalam pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan dari luar negeri, Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Aceh melakukan kunjungan strategis ke Kantor Wilayah Bea Cukai Aceh. Pertemuan yang berlangsung di Ruang Teuku Umar Kanwil Bea Cukai Aceh ini menjadi momen penting untuk membangun sinergi konkret dalam menjaga keamanan dan keselamatan masyarakat dari ancaman barang ilegal dan tidak layak konsumsi.
Kunjungan yang berlangsung pada Selasa, 25 Juni 2025, dihadiri oleh Koordinator Penindakan BPOM Aceh, Darwin S.P., didampingi oleh Nurlinda Lubis dan Muhibudin dari Tim Sertifikasi Produk. Mereka disambut langsung oleh Kepala Seksi Bimbingan Kepatuhan dan Humas, Muparrih, serta Kepala Seksi Intelijen, Aan Sundari, beserta tim Humas dari Kanwil Bea Cukai Aceh.
Pertemuan yang berlangsung sejak pukul 14.00 hingga 15.30 WIB ini membahas berbagai isu penting, mulai dari mekanisme penanganan barang tentengan (barang bawaan pribadi penumpang) di pintu masuk internasional, hingga peluang kerja sama sosialisasi dan edukasi masyarakat di area layanan kepabeanan.
Dalam pertemuan tersebut, Darwin S.P. menegaskan bahwa BPOM Aceh ingin memperkuat koordinasi dengan Bea Cukai, khususnya dalam pengawasan produk obat dan makanan yang dibawa oleh penumpang dari luar negeri. Barang tentengan seperti suplemen, jamu, obat herbal, atau makanan olahan kerap lolos dari pengawasan karena belum teridentifikasi sebagai komoditas berisiko tinggi.
“Kami ingin ada sinergi lebih kuat dalam penyaringan awal produk bawaan penumpang di bandara. Ini penting agar tidak terjadi peredaran produk berbahaya tanpa izin edar,” kata Darwin.
Ia juga menggagas pemasangan media sosialisasi seperti banner, poster, atau brosur di area kedatangan dan keberangkatan internasional untuk memberikan edukasi langsung kepada masyarakat. Menurut Darwin, penyebaran informasi visual akan sangat membantu dalam membangun kesadaran publik mengenai ketentuan masuknya obat dan makanan dari luar negeri.
Hal senada disampaikan oleh Nurlinda Lubis yang menambahkan bahwa media edukatif juga sebaiknya dipasang di area pelayanan Bea Cukai untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas. Ia juga meminta informasi lebih lanjut tentang dukungan Bea Cukai terhadap pelaku UMKM, terutama mereka yang bergerak di sektor makanan dan obat.
Menanggapi hal tersebut, Muparrih menyambut positif usulan BPOM dan menyampaikan bahwa bentuk kerja sama tersebut sangat sejalan dengan misi Bea Cukai dalam menjaga masyarakat dari barang ilegal.
“Sinergi ini penting. Kita tidak bisa bekerja sendiri dalam menghadapi tantangan perbatasan. Sosialisasi di area layanan sangat efektif dan kami akan koordinasikan dengan KPPBC Banda Aceh selaku pelaksana teknis di lapangan,” ujar Muparrih.
Ia juga menjelaskan bahwa Bea Cukai telah memiliki sejumlah skema pemberdayaan UMKM, salah satunya adalah fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor untuk Industri Kecil dan Menengah (KITE IKM) yang memberikan pembebasan bea masuk bagi pelaku UMKM yang mengekspor produk mereka. Menurutnya, Kementerian Keuangan membagi UMKM ke dalam tiga tahap: perintis, mandiri, dan siap ekspor, yang masing-masing mendapat pola pembinaan yang berbeda.
Di akhir diskusi, Aan Sundari menambahkan bahwa materi sosialisasi yang akan dikembangkan bersama BPOM sebaiknya mengandung unsur edukatif yang jelas—tidak hanya menyebutkan larangan, tetapi juga menjelaskan alasan pelarangan, manfaat izin edar, serta konsekuensi hukum dari pelanggaran.
“Edukasi harus menjelaskan logika di balik aturan. Dengan begitu, masyarakat akan lebih memahami bahwa regulasi dibuat untuk perlindungan, bukan pembatasan,” ungkap Aan.
Kunjungan ini menjadi langkah awal yang penting dalam membangun kemitraan strategis antara BPOM dan Bea Cukai Aceh. Selain pengawasan, pertemuan ini juga membuka peluang besar untuk edukasi publik yang lebih sistematis, baik melalui media cetak, elektronik, maupun tatap muka di titik-titik pelayanan strategis. Kolaborasi ini diharapkan dapat memperkuat sistem pengawasan terhadap peredaran obat dan makanan dari luar negeri serta mendorong pemahaman publik akan peraturan yang berlaku. [RED]