Banda Aceh, 17 Juni 2025 — Keputusan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menetapkan empat pulau di Kabupaten Aceh Singkil sebagai bagian dari wilayah Provinsi Sumatera Utara melalui Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, telah memicu gelombang penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat, termasuk dari kalangan mantan aktivis gerakan reformasi 1998.
Dalam pertemuan yang digelar Senin (16/6/2025) di sebuah kafe kawasan Belawan, Medan, dua kelompok penting yang terdiri dari lintas eksponen Aktivis 98 dari Sumatera Utara dan Aceh menyatukan suara dalam sebuah pernyataan sikap bersama. Pertemuan ini mempertemukan Koordinator Lintas Eksponen 98 Sumut, R. Khairil Chaniago, dan Koordinator Lintas Eksponen 98 Aceh, Johansyah ST (akrab disapa Reno), sebagai bentuk solidaritas dan perhatian terhadap polemik yang dinilai berpotensi mengguncang stabilitas wilayah dan merusak hubungan harmonis antarprovinsi.
Dalam pernyataannya, R. Khairil Chaniago menilai keputusan administratif Mendagri sebagai tindakan yang melukai semangat rekonsiliasi antara Aceh dan Pemerintah Pusat pasca-perdamaian Helsinki. Ia menyebut keputusan tersebut sebagai bentuk “patologi kebijakan politik” — sebuah penyimpangan dalam pengambilan keputusan yang bisa merusak tatanan sosial dan menimbulkan gejolak.
“Stabilitas sosial lebih penting dari pembangunan fisik dan investasi. Jangan ulangi kesalahan masa lalu dengan memihak oligarki dan mengabaikan sensitivitas daerah. Reformasi 1998 pun lahir dari kekecewaan terhadap sistem yang timpang dan keberpihakan terhadap konglomerat,” tegas Khairil.
Ia pun mendesak Presiden Prabowo Subianto agar turun tangan langsung menyelesaikan persoalan ini dengan mengedepankan nilai keadilan dan fakta historis, bukan semata pertimbangan investasi atau tekanan politik.
Sementara itu, Johansyah ST dari Lintas Eksponen 98 Aceh menyuarakan keprihatinan mendalam. Menurutnya, keputusan Mendagri tidak hanya menyangkut pengelolaan wilayah, tetapi telah menyentuh aspek psikologis dan harga diri masyarakat Aceh.
“Bagi kami, ini bukan hanya soal batas wilayah atau sumber daya alam. Ini tentang kedaulatan, sejarah, dan martabat. Aceh baru sembuh dari luka panjang. Jangan lagi dibuka luka lama itu,” ujar Johansyah.
Ia menambahkan, selama konflik Aceh di masa lalu, masyarakat Aceh dan Sumut tidak pernah mengalami gesekan sosial. Justru hubungan sosial kedua provinsi terbina baik secara alami tanpa rekayasa negara.
“Jangan biarkan kerukunan ini dihancurkan oleh satu keputusan administratif yang cacat secara historis dan hukum. Keputusan tersebut bertentangan dengan UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Aceh, serta semangat dan substansi perjanjian damai Helsinki,” tambahnya.
Sebagai penutup pertemuan, kedua tokoh mewakili Lintas Eksponen 98 dari kedua provinsi menyatakan sikap bersama, antara lain:
-
Meminta Presiden RI, Prabowo Subianto, untuk segera mengambil langkah strategis dalam menyelesaikan sengketa batas wilayah empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan mempertimbangkan data historis, aspek legal, peta administratif, dan riwayat pengelolaan wilayah oleh pemerintah daerah.
-
Mengimbau masyarakat Aceh dan Sumatera Utara untuk tetap menjaga kedamaian, kerukunan, dan toleransi sosial yang telah terbina sejak lama, serta tidak terprovokasi oleh keputusan sepihak yang berpotensi merusak hubungan baik antarwarga dua provinsi bertetangga.
Pernyataan bersama ini menjadi sinyal kuat bahwa isu empat pulau bukan hanya sekadar masalah teknis administratif, melainkan telah menjadi simbol perjuangan, martabat, dan wujud pertahanan terhadap keutuhan daerah dan penghormatan atas sejarah. (*)