Gayo Lues – Pemerintah Kabupaten Gayo Lues diduga tidak transparan dalam penyertaan modal sebesar Rp1 miliar ke Bank Aceh. Dana yang dialokasikan melalui mekanisme penyertaan modal daerah (PMD) ini menuai sorotan tajam dari publik, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) LIRA, yang menilai kebijakan tersebut dilakukan tanpa keterbukaan dan berpotensi melanggar ketentuan hukum serta aturan pengelolaan keuangan negara.
Hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari pemerintah daerah mengenai isi perjanjian atau MoU penyertaan modal, berapa persen keuntungan yang diperoleh daerah, dan apakah penyertaan tersebut baru dilakukan pada 2024 atau telah dilakukan di tahun-tahun sebelumnya.
“Kami mempertanyakan apakah DPRK Gayo Lues pernah mengkaji secara mendalam penyertaan modal ke Bank Aceh. Apakah kebijakan itu benar-benar memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)?” kata juru bicara LSM LIRA.
Penyertaan modal yang dilakukan tanpa transparansi diduga melanggar beberapa regulasi penting. Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3 dan Pasal 23 ayat (1) menegaskan bahwa keuangan negara harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Jika tidak disampaikan kepada publik atau tidak dicantumkan secara jelas dalam dokumen APBD dan tidak ada laporan pertanggungjawaban, maka penyertaan modal tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk pengelolaan keuangan negara yang tidak akuntabel.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada Pasal 285 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada BUMD atau badan usaha lainnya dengan persetujuan DPRD. Sementara Pasal 320 ayat (1) mengatur bahwa kepala daerah wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban keuangan setiap tahun kepada DPRD yang memuat informasi rinci, termasuk kekayaan daerah yang dipisahkan seperti penyertaan modal. Jika penyertaan tidak melalui persetujuan DPRK atau tidak dilaporkan secara resmi, maka dapat dinilai melanggar ketentuan tata kelola pemerintahan daerah.
Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 71 ayat (1) menyebut bahwa penyertaan modal pemerintah daerah harus didasarkan pada Peraturan Daerah. Bila tidak ada Perda sebagai dasar hukum penyertaan, maka kebijakan tersebut rawan dianggap cacat hukum.
Selain itu, Permendagri Nomor 52 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengelolaan Investasi Pemerintah Daerah pada Pasal 4 dan Pasal 11 mewajibkan setiap penyertaan modal dilakukan berdasarkan kajian kelayakan investasi dan diumumkan secara terbuka agar publik mengetahui manfaat, risiko, serta proyeksi pendapatan daerah.
“Jika penyertaan modal tidak dilakukan sesuai ketentuan ini, maka bisa dinilai sebagai pelanggaran administratif dan berpotensi mengarah pada tindak pidana korupsi, khususnya jika dana APBD disalahgunakan,” ujar jubir LIRA.
LSM LIRA meminta Aparat Penegak Hukum (APH) — termasuk Kejaksaan Negeri Gayo Lues, Polres, dan bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) — untuk menyelidiki potensi penyimpangan dalam proses penyertaan modal ini. “Kami mendesak APH untuk memeriksa dokumen pendukung, proses penganggaran, persetujuan DPRK, serta kajian investasi. Jika ditemukan pelanggaran, maka proses hukum harus berjalan,” tegasnya.
Selain itu, LIRA mendorong DPRK Gayo Lues untuk segera memanggil pihak eksekutif dan memfasilitasi rapat dengar pendapat terbuka guna memberikan kejelasan kepada masyarakat. Jika tidak ada transparansi, maka penyertaan modal yang seharusnya menjadi strategi memperkuat keuangan daerah justru berpotensi menjadi celah praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang. (TIM)