SUBULUSSALAM | Keputusan Wali Kota Subulussalam menunjuk seorang kepala sekolah aktif sebagai Penjabat Kepala Kampong bukan hanya kontroversial—ia adalah alarm keras yang mengingatkan kita pada sebuah persoalan mendasar dalam tata kelola pendidikan dan pemerintahan daerah. Kebijakan ini, meski mungkin lahir dari alasan pragmatis, sejatinya adalah sebuah blunder yang berpotensi merusak fondasi pendidikan di daerah tersebut.
Kepala sekolah adalah sosok sentral dalam dunia pendidikan. Mereka bukan sekadar pengelola administrasi, tapi juga pemimpin yang membentuk budaya belajar, memastikan mutu pembelajaran, dan menjadi panutan moral bagi guru serta siswa. Tanggung jawab itu sudah sangat berat dan menuntut fokus penuh. Namun, bagaimana mungkin satu orang dapat menjalankan tugas strategis ini sambil mengemban jabatan pemerintahan kampong yang juga kompleks dan menyita waktu?
Lebih jauh lagi, rangkap jabatan ini jelas melanggar Peraturan Menpan-RB Nomor 21 Tahun 2024, yang melarang guru dan kepala sekolah merangkap jabatan lain. Regulasi ini tidak dibuat tanpa alasan. Ia hadir untuk menjaga kualitas pendidikan dan memastikan integritas profesi guru serta kepala sekolah. Tapi apa daya jika aturan itu diabaikan begitu saja oleh pejabat daerah yang seharusnya menjadi teladan dalam mematuhi hukum?
Fenomena ini mencerminkan problem sistemik yang tidak hanya terjadi di satu daerah. Ketika birokrasi dan politik lokal mengorbankan pendidikan demi kepentingan jangka pendek, maka generasi peneruslah yang menjadi korban utama. Kualitas pendidikan yang menurun akan berimbas pada kemunduran kualitas sumber daya manusia dan pada akhirnya melemahkan daya saing daerah dan bangsa.
Pemerintah daerah harus segera menyadari bahwa pendidikan bukan sekadar urusan administratif yang bisa ditukar atau dibagi-bagi. Pendidikan adalah investasi jangka panjang, yang memerlukan keseriusan, profesionalisme, dan pengabdian penuh dari para pengelolanya. Kepala sekolah harus diberi ruang dan waktu untuk fokus mendidik, bukan terbagi dengan tugas-tugas pemerintahan yang jauh dari bidangnya.
Kami menyerukan kepada Wali Kota Subulussalam dan seluruh pemangku kebijakan untuk meninjau ulang kebijakan ini. Evaluasi harus dilakukan secara transparan dan melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat dan organisasi pendidikan. Jangan sampai keputusan yang seharusnya membangun, justru menjadi pintu bagi kemunduran pendidikan.
Ketika masa depan anak-anak kita dipertaruhkan, maka tidak ada alasan untuk mengorbankan kualitas pendidikan demi alasan birokrasi atau politik. Seluruh elemen masyarakat harus ikut mengawasi dan mengawal agar dunia pendidikan tetap menjadi prioritas utama yang dilindungi dan dikembangkan dengan sungguh-sungguh.
Pendidikan adalah fondasi bangsa. Jangan biarkan fondasi itu retak hanya karena kepentingan sesaat. (*)