Aceh Timur , BaraNews | Sejumlah awak media di Kabupaten Aceh Timur mengecam keras tindakan penghalang-halangan terhadap kerja jurnalis yang sedang melakukan peliputan Penjarahan besar besaran di perkebunan milik PTPN IV Regional VI, yang saat ini status lahannya masih dalam dugaan sengketa.
Peristiwa tidak menyenangkan tersebut menimpa M. Haris Nduru, jurnalis Graha Media Group-online, yang mendapat intimidasi dan pemaksaan dari sekelompok masyarakat Desa Seuneubok Bayu, Kecamatan Indra Makmu, Aceh Timur. Aksi tersebut juga didampingi oleh dua oknum pengacara yang selama ini diketahui sebagai kuasa hukum masyarakat desa tersebut, oknum warga menjarah sawit mencapai puluhan orang dengan hasil jarahan mencapai 30 Ton perhari.
Dalam kejadian itu, Haris mendapat makian, intimidasi, dan larangan untuk melakukan peliputan oleh sekelompok warga. Menurut rekan-rekan sesama jurnalis, tindakan tersebut merupakan bentuk kekeliruan dan pelanggaran serius terhadap kebebasan pers.
Sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28F dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pasal 4 ayat (1), jurnalis memiliki hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan informasi, termasuk merekam gambar atau video di tempat umum, seperti di areal perkebunan negara milik PTPN IV Regional VI.
Bahkan, tindakan menghalangi kerja wartawan dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 18 Ayat (1) UU Pers, dengan ancaman hukuman penjara maksimal 2 tahun atau denda hingga Rp500 juta.
Kronologi Kejadian:
Insiden terjadi ketika M. Haris Nduru melakukan peliputan aktivitas panen TBS (Tandan Buah Segar) sawit di lokasi yang sedang disengketakan antara PTPN IV Regional VI dengan masyarakat Desa Seuneubok Bayu. Saat hendak mewawancarai dua pengacara yang mendampingi warga ke pos keamanan perkebunan, Haris justru mendapat serangan verbal dari Syahrul alias Yun bersama sejumlah warga lainnya.
Mereka memaksa Haris mematikan kameranya dan melarangnya untuk meliput. Melihat situasi memanas, personel gabungan TNI-Polri yang berjaga di pos keamanan langsung melindungi Haris dari potensi serangan massa. Haris kemudian memutuskan untuk menghentikan peliputan dan berlindung sementara di pos keamanan.
Kecaman dan Seruan Tindakan Hukum
Ketua JWI Aceh Timur, Hendrika Saputra, menyampaikan keprihatinan mendalam atas kejadian yang dialami Haris. Menurutnya, jurnalis berhak meliput semua peristiwa, baik yang bersifat resmi maupun yang belum memiliki kejelasan hukum.
“Kebebasan pers tidak dibatasi oleh adanya undangan atau laporan resmi. Selama itu di ruang publik, jurnalis berhak melakukan peliputan,” ujarnya.
Senada dengan itu, jurnalis lainnya, Nana Thama, mengungkapkan kekhawatiran bahwa insiden ini bisa menimbulkan rasa takut bagi jurnalis lain yang tengah menjalankan tugas jurnalistiknya.
“Kami minta kepada Kapolres Aceh Timur, AKBP Irwan Kurniadi, S.I.K, agar segera mengambil langkah tegas terhadap para oknum tersebut, agar kejadian serupa tidak kembali terulang,” tegasnya.
Insiden ini menjadi alarm bagi seluruh pihak bahwa kebebasan pers adalah bagian dari pilar demokrasi yang harus dijaga dan dihormati oleh semua pihak, termasuk dalam situasi konflik atau sengketa lahan.(Tim)