JAKARTA | Tiga prajurit Angkatan Laut divonis penjara dan dua anggota militer lainnya ditetapkan sebagai tersangka pada Selasa (25/3) dalam dua kasus pembunuhan dengan senjata api yang mencoreng institusi Tentara Nasional Indonesia.
Vonis terhadap para prajurit dibacakan hanya beberapa hari setelah Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan revisi Undang-Undang TNI, amendemen yang dikhawatirkan akan semakin memperbesar pengaruh militer dalam kehidupan sipil.
Kelasi Kepala Bambang Apri Atmojo dan Sersan Satu Akbar Adli dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh Pengadilan Militer Jakarta atas kasus pembunuhan berencana terhadap Ilyas Abdurrahman, seorang pemilik rental mobil. Sementara itu, Sersan Satu Rafsin Hermawan divonis empat tahun penjara atas keterlibatannya dalam kejahatan tersebut.
Hakim Letnan Kolonel Arif Rachman menyatakan bahwa kedua terdakwa utama “terbukti secara sah dan meyakinkan” melakukan pembunuhan berencana dan penadahan kendaraan yang sebelumnya disewakan kepada mereka oleh korban.
Peristiwa ini terjadi pada Januari di tempat peristirahatan di jalan tol Jakarta-Merak, ketika Ilyas berusaha mengambil kembali mobilnya yang disewakan. Namun, dua prajurit tersebut justru menembak korban hingga tewas.
Selain hukuman penjara, ketiganya juga dipecat dari dinas militer.
Kasus ini bukan satu-satunya yang melibatkan anggota TNI tahun ini.
Di Aceh, Kelasi Dua Dede Irawan, seorang prajurit Angkatan Laut, diduga menembak mati Hasfiani, seorang agen penyewaan mobil pada pertengahan Maret. Dede kemudian memasukkan jasad korban ke dalam karung dan membuangnya di hutan.
Sementara di Lampung, dua prajurit TNI Angkatan Darat, Kopral Dua Basarsyah dan Pembantu Letnan Satu Yohanes Lubis, ditetapkan sebagai tersangka atas penembakan tiga polisi dalam penggerebekan arena judi sabung ayam di Negara Batin, Way Kanan, bulan ini.
Ketiga korban adalah Kapolsek Negara Batin Ajun Komisaris Lusiyanto, serta dua anggotanya, Ajun Inspektur Polisi Dua Petrus Apriyanto dan Brigadir Polisi Satu Ghalib Surya Ganta.
“Terduga Kopral Dua Basarsyah menjadi tersangka penembakan, sementara Yohanes Lubis ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perjudian,” ujar Mayor Jenderal Eka Wijaya Permana, Wakil Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat.
Kasus ini menimbulkan spekulasi bahwa penggerebekan terjadi akibat perselisihan uang setoran antara polisi dan pengelola judi. Namun demikian, Kepala Kepolisian Daerah Lampung Inspektur Jenderal Helmy Santika membantahnya, menyebutnya itu sekadar asumsi.
Menurut catatan Imparsial, sepanjang 2024 hingga Maret 2025, terdapat 10 kasus penembakan oleh anggota TNI, dengan korban delapan warga sipil tewas dan 12 lainnya luka berat.
Dalam periode yang sama, Imparsial juga mencatat 41 kasus kekerasan yang melibatkan prajurit TNI, dengan 17 korban meninggal dunia.
Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menilai kasus-kasus ini menunjukkan bahwa banyak personel militer yang terlibat dalam kejahatan pidana umum. Namun, ia menyoroti bahwa sistem peradilan militer kerap memberikan impunitas bagi anggota TNI.
“Vonis bersalah ini harus menjadi momentum bagi pemerintah dan DPR untuk segera merevisi Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer,” ujar Wirya.
Menurutnya, pengadilan militer seharusnya hanya menangani pelanggaran disiplin internal, sementara anggota TNI yang melakukan kejahatan sipil harus diadili di pengadilan umum, sebagaimana warga negara lainnya.
Kasus hukum yang melibatkan anggota TNI terjadi saat institusi ini mendapat sorotan karena upaya pemerintah untuk semakin memperkuat peran militer di sektor sipil.
Pengesahan revisi Undang-Undang TNI pada 20 Maret ini menambah jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh perwira aktif, dari 10 posisi menjadi 14 posisi, termasuk di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kejaksaan Agung, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selain itu, revisi UU TNI juga memperluas tugas operasi militer selain perang. Jika sebelumnya militer hanya memiliki 14 tugas, kini jumlahnya bertambah menjadi 16 tugas, termasuk keterlibatan dalam pertahanan siber dan operasi perlindungan warga negara Indonesia di luar negeri.
Para pegiat hak asasi manusia khawatir bahwa perubahan ini akan memperburuk tren impunitas di tubuh TNI.
Selain kasus kekerasan, pengawasan terhadap korupsi di tubuh TNI juga dipertanyakan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengkritik sistem peradilan militer yang sering dianggap tebang pilih.
Ia merujuk pada penghentian pengusutan terhadap lima dari enam anggota TNI yang diduga terlibat dalam korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland-101 dengan dalih kurang bukti. Sementara itu, warga sipil yang terlibat dalam kasus yang sama sudah divonis 10 tahun penjara, ujar Wana.
Menurutnya, kasus ini menunjukkan bahwa peradilan militer tidak transparan dan berpotensi digunakan untuk melindungi prajurit yang terlibat dalam tindak pidana tertentu, termasuk korupsi.
“Penghentian perkara ini patut diduga untuk menyelamatkan pihak lain dan semakin mempertebal adanya indikasi impunitas terhadap anggota tentara yang melakukan [pidana korupsi] di wilayah sipil,” ujar Wana.
BenarNews mencoba menghubungi Brigadir Jenderal Kristomei Sianturi, Juru Bicara TNI, untuk meminta tanggapan atas kritik terhadap revisi UU TNI dan reformasi peradilan militer. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada respons dari pihak militer. (Arie Firdaus/Benar News Indonesia)