JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terhadap UUD 1945. Sidang Perkara Nomor 176/PUU-XXII/2024 ini digelar pada Selasa (31/12/2024) dengan agenda Perbaikan Permohonan. Perkara ini diajukan oleh Adam Imam Hamdana beserta 3 (tiga) rekannya, yakni Wianda Julita Maharani, dan Adinia Ulva Maharani yang merupakan Mahasiswa. Para Pemohon merasa mengalami kerugian potensial karena tidak adanya kepastian hukum bagi Para Pemohon sebagai pemilih untuk memastikan bahwa mandat yang diberikan kepada wakil rakyat terpilih benar-benar dijalankan.
Pasal 426 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Penggantian calon terpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan: a……; b. mengundurkan diri; c……; d……”. Dalam persidangan, Adam selaku Pemohon I menyampaikan dalam Pasal 426 UU Pemilu yang mengatur penggantian Calon Terpilih anggota DPR, DPD, dan DPRD, yakni dapat dilakukan apabila calon terpilih yang bersangkutan mengundurkan diri yang mana tidak ada pembatasan atau definisi yang limitatif terhadap frasa mengundurkan diri. Sehingga dapat dijadikan celah oleh pemangku kepentingan untuk memanfaatkan pasal tersebut sebagai jaminan legalisasi untuk mengkhianati kepercayaan dan suara yang diberikan rakyat dalam koalisi pemilu.
Adam Imam Hamdana selaku Pemohon dalam persidangan yang dihadiri secara luring menyebut terdapat beberapa perbaikan yakni mengenai format penulisan permohonan mulai dari penulisan perihal kemudian penulisan Ketua MK serta disertakan nomor halaman.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami juga hapus bagian penutup yang kemarin sempat dicantumkan sehingga diakhiri bab petitum saja. Yang kedua kami menambahkan kewenangan MK yang sempat terlupakan yakni Pasal 24C ayat (1) kami tambahkan pada halaman 2 bab 1 angka 2,”sebut Adam.
Kemudian, sambungnya, pada bagian kerugian konstitusional para Pemohon yang terdapat di halaman 11 sampai 16 yang pada intinya para Pemohon dirugikan secara aktual dan setidak-tidaknya potensial menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi akibat ada pasal a quo. “Kami telah merinci kerugian-kerugian sehingga menambahkan posisi dan status Pemohon sebagai pemilih pemula,” urainya.
Selain itu, para Pemohon juga menambahkan subbab agar pembahasan yang tidak disampaikan dapat tersampaikan dengan baik. Dalam petitum permohonannya, Pemohon meminta kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “mengundurkan diri” dalam Pasal 426 ayat (1) huruf b UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Mengundurkan diri secara terbuka kepada konstituen berdasarkan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan pada penghormatan terhadap kedaulatan rakyat”.
Sebelumnya, Para Pemohon merasa bahwa adanya calon legislatif terpilih yang mengundurkan diri merupakan bentuk pengkhianatan, serta tidak bertanggung jawab atas mandat yang diberikan langsung oleh rakyat, terlebih adanya alasan yang tidak serius. Pemohon juga mendalilkan dengan adanya pasal a quo, maka menimbulkan peluang setiap calon legislatif untuk sekadar tes saja, manakala suara yang didapatkan calon setelah dikalkulasikan menunjukkan tren yang positif, maka calon anggota tersebut akan mengundurkan diri dan berpindah haluan ke Pilkada. Menurut Pemohon, hal tersebut sangat berpotensi menjadikan suara rakyat tidak dihargai. Padahal penghargaan terhadap suara rakyat sudah menjadi semangat Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024. Selain itu, dalam negara hukum yang berkedaulatan rakyat, penting untuk memposisikan kepentingan rakyat sebagai kepentingan utama karena sejatinya prinsip kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat. Sehingga dalam melaksanakan segala urusan berkenaan dengan tugasnya, para pemegang kekuasan harus berpegang pada kehendak rakyat yang lazimnya disebut dengan demokrasi.
Dikatakan Adam, Putusan MK tersebut inheren dengan fenomena anggota DPR, DPD, dan DPRD yang melakukan pengunduran diri, dengan tanpa adanya limitasi yang jelas akan berpotensi terjadi praktik-praktik tukar suara rakyat dengan kepentingan politik dan kepentingan-kepentingan lain yang tidak selaras dengan prinsip kedaulatan rakyat. Hal tersebut tentu bertolak belakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa prinsip paling pokok dari demokrasi adalah free and fairness (prinsip kebebasan memilih dan prinsip jujur adil). (*)
HUMAS MKRI