Oleh: Turham AG, S. Ag., M. Pd
Dosen IAIN Takengon/Maestro Bahasa dan Budaya Gayo
Budaya dan tradisi yang terdapat dalam suatu masyarakat sangat mempengaruhi prilaku dan pandangan hidup mereka, sekaligus sebagai pengetahuan dan setrategi dalam menjalankan kegiatan sehari-hari untuk menjawab berbagai persoalan kehidupan termasuk pemenuham kebutuhan mereka.
Oleh sebab itu, dirasa penting untuk melestraikan local wisdom (kearifan lokal) sebagai suatu upaya dalam menjaga keseimbangan dan pelestarian suatu budaya maupun tradisi yang berkembang dalam masyarakat, mengingat perantara budaya dan tradisi dimaksudkan dapat mempengaruhi prilaku masyarakat dalam berfikir dan bertindak sebagai cerminan karater mereka.
Masyarakat Gayo memiliki budaya dan berbagai tradisi yang telah diwariskan para pendahulu secara turun temurun. Namun diantara budaya dan tradisi tersebut banyak yang masih terlaksana secara murni dan konsekuen karena para pemimpin dan masyarakatnya menyadari betul arti pentingnya melestaraikan budaya dan tradisi.
Tidak dipungkiri bahwa budaya dan tradisi itu juga sudah banyak yang tenggelam karena tidak pernah dilaksanakan lagi, bahkan dapat dikatakan sudah ditinggalkan dan tidak popular lagi dalam masyarakat terutama kalangan muda. Disisi lain ada budaya atau tradisi yang masih dilaksanakan namun tujuan pelaksanaanya sudah tidak sesuai seperti yang dimaksudkan oleh budaya dan tradisi itu sendiri, hal ini dapat dilahat dalam tradisi mangan ku weh yang terlaksana saat ini.
Tradisi mangan ku weh sampai saat ini masih terlaksana, tetapi tidak lagi seperti mangan ku weh yang dilaksanakan sebagaimana dahulu. Mangan ku weh dewasa ini hanya terkesan sebagai hiburan dan makan bersama dengan keluarga maupun dengan karib kerabat, sementara dalam acara mangan ku weh serat dengan makna penuh dengan nilai-nilai
Dilihat dari arti, mangan ku weh mempunyai dua pengertian yaitu secara harfiyah dan istilah. Secara harfiyah terdiri dari kata mangan dan ku weh, mangan berarti makan. Sedangkan ku weh yang terdiri dari dua suku kata, ku berarti ke dan weh berarti air jadi ku weh berarti ke air. Dengan demikian mangan ku weh bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti makan ke air.
Namun mangan ku weh secara istilah sebagaimana dimasudkan secara tradisi adalah suatu acara syukuran yang dilaksanakan masyarakat setelah selesai panen padi (nge mari berume) pada satu musim tanam, dalam bahasa lain dapat dikemukakan bahwa mangan ku weh merupakan makan bersama-sama sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil padi yang dilaksanakan di air baik sungai maupun danau.
Mangan ku weh tersebut merupakan suatu acara sebagai wujud rasa syukur dalam bentuk kenduri yang dapat dilaksanakan oleh satu (sara) kampung, sara belah (satu klen), dapat juga dilaksanakan oleh muda mudi (beberu bebujang) satu kampung. Karena dalam masyarakat Gayo mereka dianggap dengan (saudara)
Dapat dikatakan mangan ku weh merupakan acara tahunan dan bergengsi saat itu yang selalu dipersiapkan pada tiap kampung, karena masa panen padi di Gayo dahulu adalah setahun dalam satu musim tanam dan kesibukan masyarakat hanya berkutat antara sawah dan kebun kopi sehingga banyak waktu melaksanakan acara rutin tahunan.
Inti acara pada mangan ku weh adalah ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT, dengan berdo’a bersama, dirangkai dengan pemberian nasehat dari tokoh adat maupun tokoh agama. Dalam nasehatnya tokoh agama menyampaikan agar tidak melupakan zakat, infak dan sadaqah atas nikmat rizki yang telah didapat.
Sementara tokoh adat lazimnya berpesan agar tetap mengingat Allah karena tanda-tanda alam dapat dilihat dari hasil panen yang telah didapat, tidak berlaku ria dan meneguhkan akan pentingnya ketahanan pangan serta tetap menjaga dan melestarikan nilai-nilai adat, budaya dan tradisi.
Pesan sekaligus memberi peringatan agar tidak terlena dengan rezeki yang melimpah dengan harapan terindar dari istidraj, disamping itu tentunya juga sebagai acara hiburan (riah bererie) untuk menghilangkan penat (refreshing) karena telah selesai dari pekerjaan berat dan mendapat hasil yang baik.
Melalui acara mangan ku weh terjalin silaturrahmi antara sesama masyarakat dan penekanan dalam nasehat terutama kepada pemuda pemudi (beberu bebujang) agar tetap saling menganggap dengan (saudara/muhrim) yaitu dilarang menikah menurut ketentuan adat.