OPINI – Perpanjangan masa jabatan Kepala Desa atau Keuchik di Aceh dari 6 tahun menjadi 8 tahun bukanlah langkah yang tepat. Masa jabatan Keuchik selama 6 tahun, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), sudah cukup ideal untuk memberikan kesempatan Keuchik membangun desa atau gampong, sekaligus menjaga dinamika demokrasi di tingkat gampong.
Pertama, masa jabatan yang terlalu panjang berisiko menghambat regenerasi kepemimpinan gampong. Gampong membutuhkan pemimpin-pemimpin baru yang bisa membawa ide segar, inovasi, dan semangat perubahan. Dengan masa jabatan 6 tahunan, masyarakat lebih cepat dapat mengevaluasi kinerja Keuchik dan menentukan apakah kepemimpinan tersebut layak untuk dilanjutkan atau diganti.
Kedua, memperpanjang masa jabatan bisa menimbulkan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Semakin lama seseorang berkuasa tanpa mekanisme evaluasi yang ketat, semakin besar peluang lahirnya praktik-praktik nepotisme, korupsi, dan penyalahgunaan wewenang. Masa jabatan 6 tahun memberikan batasan waktu yang cukup adil untuk mencegah kekuasaan yang terlalu mengakar.
Ketiga, mengikuti ketentuan masa jabatan 6 tahun sesuai UUPA adalah bentuk penghormatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi. UUPA telah mengakomodasi kebutuhan pembangunan gampong dengan tetap menjaga semangat pergantian kepemimpinan yang sehat. Jika ada perbaikan yang diperlukan, fokus seharusnya pada penguatan kapasitas Keuchik, bukan memperpanjang masa jabatannya.
Oleh karena itu, menolak masa jabatan 8 tahun adalah pilihan yang tepat demi menjaga demokrasi gampong yang sehat, regenerasi kepemimpinan yang dinamis, dan pencegahan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Kita harus tetap berpegang pada masa jabatan 6 tahun seperti yang diamanatkan dalam UUPA.
Penulis,
Denny Satria, S.Sos
Pemerhati Pemerintahan Gampong