Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) Nuriyani Trisani Balu menjelaskan setelah ditetapkan tersangka dan dipecat, Kapolres Ngada akan segera menjalani persidangan dalam waktu dekat.
“Untuk kode etik ditangani Mabes Polri, kasusnya terus berproses dari penyelidikan hingga penyidikan dan sudah ditetapkan tersangka. Berkas sudah kami limpahkan ke Kejaksaan,” kata Nuriyani saat dihubungi BenarNews melalui telepon, 24 Maret 2025.
Pihaknya saat ini sedang menunggu pemberitahuan dari pihak Kejaksaan terkait kelengkapan berkas tersebut.
“Lengkap atau belum, kalau sudah P21 maka tergantung keputusan Kejaksaan apakah disidangkan di NTT atau Jakarta. Biasanya dalam waktu 14 hari namun terpotong libur Lebaran,” ujar Nuriyani, merujuk pada istilah P21 terkait kesiapan sebuah perkara untuk diajukan ke tahap penuntutan.
Ia memastikan proses penanganan perkara ini berjalan secara transparan. Sejauh ini, ujar dia, pihaknya telah memeriksa 19 orang saksi dalam proses penyidikan.
“Saat ini tersangka masih ditahan di Mabes Polri guna menjalani penempatan khusus (patsus) terhadap anggota polisi yang melakukan pelanggaran disiplin dan kode etik,” kata dia.
Terkait penanganan korban, saat ini pihaknya sudah berkoordinasi dengan sejumlah instansi seperti Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Koalisi Masyarakat dan Komnas HAM.
“Mereka sedang dalam penanganan untuk dilakukan rehabilitasi dan pendampingan korban, mungkin dalam bentuk pendampingan psikologis,” katanya.
Sebelumnya, eks Kapolres Ngada, AKBP Fajar Widyadharma, diduga melecehkan tiga orang anak di bawah umur dan satu orang dewasa berusia 20 tahun. Adapun, tiga korban anak itu berusia 6 tahun, 13 tahun dan 16 tahun.
Fajar juga merekam aksi cabul tersebut dan mengunggah videonya ke situs dan forum pornografi anak (dark web) di Australia. Aparat keamanan di Australia yang sedang merazia situs dark web itu mengirim rekaman itu kepada divisi hubungan internasional Polri.
Berdasarkan keterangan polisi beberapa waktu lalu, Polda NTT menerima laporan tersebut pada 22 Januari 2025. Kasus tersebut kemudian diselidiki dengan mendatangi hotel yang diduga menjadi lokasi perkara. Sejumlah alat bukti didapatkan seperti compact disc yang berisikan video kekerasan seksual sebanyak delapan video.
Perwakilan hubungan masyarakat Mabes Polri Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan tersangka Fajar Widyadharma melanggar kode etik profesi Polri dengan perbuatan melakukan pelecehan seksual.
“Telah melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dengan persetubuhan, perzinahan tanpa ikatan pernikahan yang sah, mengkonsumsi narkoba, serta merekam, menyimpan, mengunggah dan menyebarluaskan video pelecehan seksual anak di bawah umur,” kata Trunoyudo.
Oleh karenanya, AKBP Fajar Widyadharma divonis hukuman pemberhentian dengan tidak hormat.
Direktur Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Polri, Himawan Bayu Aji memastikan hukuman pelaku akan diperberat. “Ditambah pemberatan sepertiga pidana pokok, karena menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak,” kata Bayu.
Dikecam
Berbagai pihak mengecam perbuatan Fajar itu.
“Aparat penegak hukum seharusnya menjadi pelindung anak. Kami mengecam keras perbuatan ini. Negara harus memastikan pelaku mendapatkan hukuman setimpal tanpa adanya impunitas. Perlindungan korban dan keluarganya juga harus menjadi prioritas pemerintah,” kata Ai Maryati Solihah, kepala Komisi Perlindungan Anak Indonesia kepada BenarNews.
Pihaknya akan terus memantau pendampingan korban yang dilakukan LPSK serta divisi Perlindungan perempuan dan anak provinsi NTT. “Pemerintah wajib menjamin hak restitusi bagi korban dan memastikan rehabilitasi psikososial agar korban bisa mendapatkan pemulihan mental secara optimal,” ujar dia.
Sementara perkumpulan Jakarta Feminist mengatakan, “Di kasus ini kita bisa lihat kerentanan korban berhadapan dengan seorang Kapolres. Ini menunjukkan relasi kuasa yang sangat timpang, baik dari segi usia maupun kedudukan sosial pelaku!”
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menyebut bahwa ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga melanggar nilai-nilai moral dan etika, hak asasi manusia, serta Konvensi Hak Anak, sebuah perjanjian internasional yang menjamin hak-hak anak di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, kesehatan dan budaya, yang disahkan oleh PBB pada 1989, dan Indonesia meratifikasinya pada 1990.
“Semua itu seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap individu, terutama mereka yang berada dalam posisi otoritas. Perbuatan oknum aparatur negara tersebut merupakan perendahan dan pengrusakan harkat martabat manusia,” ujar Pendeta Etika Saragih dalam keterangan persnya.
Polri didesak transparan
Para pihak mendesak hukum yang adil dan transparan serta sanksi etika. “Kami meminta adanya pemulihan para korban dengan menyediakan layanan psikologi untuk para korban, menyediakan restitusi atau kompensasi dalam proses penegakan hukum serta jaminan peristiwa tersebut tidak akan terulang lagi,” kata Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Uli Parulian Shihombing dalam press rilis Komnas HAM yang diterima BenarNews.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Choirul Anam, mengatakan tindakan ini sangat biadab sehingga menuntut kepolisian menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya.
“Teman Propam (Divisi Profesi dan Pengamanan Polri) sedang bekerja keras untuk penyelidikan ini, berdasarkan kontruksi peristiwa, banyak bukti perdagangan orang, pornografi,” ujarnya.
“Nggak kalah penting adalah soal budaya sanksi yang tegas dan maksimal, memenuhi unsur pidana agar bisa meretas budaya yang tercela tersebut,” kata Choirul.
Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak pada 2023 menyatakan terdapat 15.120 kasus kekerasan terhadap anak dengan 12.158 kasus dialami anak perempuan dan 4.691 kasus dialami anak laki-laki. Kemudian ada sebanyak 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2023. Data ini mengalami penurunan 12 persen dibandingkan pada tahun 2022 yang sebanyak 457.895 kasus. (Tria Dianti /Benar News Indonesia)