Penulis : Ferizal Salami, SE.Ak (Mahasiswa Magister FEB USK, Pemerhati Pemerintahan)
Aceh Selatan sedang mengalami krisis yang tak sekadar bersumber dari bencana alam. Di balik banjir dan longsor yang merendam wilayah Trumon Raya dan sekitarnya, terdapat bencana lain yang jauh lebih senyap yakni runtuhnya kepastian dalam struktur pemerintahan akibat menjamurnya pejabat berstatus Pelaksana Tugas (Plt). Fenomena ini, yang jarang terjadi di daerah manapun di Indonesia dengan skala sebesar ini, justru menggambarkan wajah negara atau pemerintah yang hadir, tetapi dalam bentuk yang gamang, rapuh, dan tak sepenuhnya legitim.
Penonaktifan sementara Bupati Mirwan MS diikuti penunjukan Wakil Bupati sebagai Plt Bupati mungkin tampak sebagai prosedur administratif biasa. Namun yang terjadi di Aceh Selatan melampaui sekadar pergantian sementara. Kita sedang menyaksikan sebuah pemerintahan lokal yang berdiri di atas fondasi pejabat sementara: Plt Sekda, Plt para kepala dinas vital, hingga puluhan pejabat eselon yang juga bersatus Plt. Ini bukan sekadar anomali birokrasi; ini adalah tanda jelas bahwa tata kelola pemerintah daerah memasuki fase krisis struktural.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
*Pemerintahan Tanpa Kepastian*
Dalam teori administrasi publik, pejabat Plt berada pada posisi yang rentan, yaitu memikul tanggung jawab besar tetapi memiliki kewenangan terbatas. Ketika status itu hanya satu atau dua, birokrasi masih dapat berjalan. Namun ketika hampir seluruh pucuk strategis dipimpin oleh Plt, maka yang terjadi adalah governance paralysis, yakni lumpuhnya kemampuan membuat keputusan yang cepat, tegas, dan berorientasi pelayanan publik.
Dalam konteks bencana seperti di Aceh Selatan, situasi ini menimbulkan risiko tinggi. Pejabat Plt sering menghadapi dilema, berupa keputusan anggaran darurat harus cepat, tetapi otoritasnya terbatas; tindakan penyelamatan harus tegas, tetapi status jabatannya membuat mereka berhitung dengan ketakutan administratif. Akibatnya, proses koordinasi melambat, jalur instruksi kabur, dan waktu kritis untuk menyelamatkan warga terbuang dalam keragu-raguan birokrasi.
Penelitian kebijakan menunjukkan bahwa struktur yang dipenuhi pejabat sementara melemahkan legitimasi internal dan eksternal. Birokrat di bawahnya ragu mengikuti instruksi, sementara publik mempertanyakan kemampuan pemimpin menghadapi krisis. Inilah yang kini dirasakan masyarakat Aceh Selatan yakni berupa ketidakjelasan siapa yang benar-benar memimpin.
*Kepemimpinan yang Harus Mengembalikan Kepercayaan*
Penunjukan H. Baital Mukadis sebagai Plt Bupati seharusnya menjadi momentum pemulihan, bukan sekadar formalitas. Ia menghadapi dua persoalan besar sekaligus: penanganan bencana yang membutuhkan tindakan cepat dan penataan ulang struktur birokrasi yang telah lama dibiarkan menggantung.
Konsolidasi birokrasi menjadi langkah paling mendesak. Plt Bupati harus melakukan audit menyeluruh terhadap posisi-posisi Plt yang ada, menilai ulang kelayakan pejabat yang dapat segera didefinitifkan, dan menegaskan kembali garis komando dalam penanganan bencana. Tanpa struktur yang jelas dan pejabat yang memiliki legitimasi penuh, setiap strategi penanganan krisis akan rapuh sejak awal.
Transparansi adalah fondasi berikutnya. Publik berhak mengetahui alasan mengapa begitu banyak jabatan tidak didefinitifkan, apa hambatannya, serta bagaimana roadmap penataan ulang dilakukan. Tanpa keterbukaan, setiap langkah pemerintah akan dibayangi kecurigaan politik-birokratik yang memperburuk kepercayaan publik.
Dalam literatur good governance, reformasi ASN adalah kunci stabilitas jangka panjang. Aceh Selatan harus beranjak dari pola mutasi jangka pendek berbasis kepentingan dan kembali pada sistem merit berupa kompetensi, pengalaman, dan integritas. Selama penataan jabatan diperlakukan sebagai alat politik, bukan instrumen profesional, krisis “pemerintahan sementara” akan terus menghantui daerah ini.
Pada akhirnya, krisis di Aceh Selatan hari ini bukan hanya persoalan banjir yang menggenangi desa-desa, tetapi juga banjir ketidakpastian yang melanda struktur pemerintahan. Bencana alam bisa dipetakan, dihitung, bahkan diprediksi. Tetapi bencana tata kelola, ketika negara hadir dengan wajah yang tidak pasti, dengan pemimpin yang serba sementara, maka akan meninggalkan kerusakan yang jauh lebih panjang dan lebih dalam.
Aceh Selatan membutuhkan pemimpin yang tidak hanya hadir di helicopter landing spot, tetapi hadir dalam keputusan. Hadir dalam kepastian. Hadir dalam legitimasi. Dan itu hanya mungkin jika pemerintah daerah berani keluar dari bayang-bayang status “sementara” yang selama ini membelenggu.
Sebab pemerintahan yang dibangun di atas fondasi Plt bukan hanya melemahkan birokrasi, ia melemahkan negara di mata rakyatnya.







































