Banda Aceh— Dua dekade telah berlalu sejak penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki (MoU Helsinki) antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005. Namun, menjelang peringatan 20 tahun perdamaian Aceh, suara-suara kritis kembali menggema. Kali ini datang dari Tarmizi Age, salah satu pemerhati Aceh yang dengan tegas mempertanyakan sejauh mana janji-janji dalam MoU itu benar-benar terwujud.
“Apa yang sebenarnya dikerjakan oleh Wali Nanggroe, Pemerintah Aceh, DPRA, dan para mantan tim perunding MoU Helsinki?” tanya Tarmizi dalam pernyataan terbukanya, Kamis (19/6/2025). Ia menyebutkan bahwa selama hampir 20 tahun, realisasi isi kesepakatan damai justru mandek dan minim dampak terhadap hak-hak rakyat Aceh yang diperjuangkan melalui jalur dialog dan perundingan internasional itu.
Menurut Tarmizi, MoU yang dahulu ditandatangani dengan semangat tinggi dan harapan besar, kini justru menjadi bahan olok-olok di tengah masyarakat Aceh. “Seolah-olah Aceh hanya dijadikan panggung diplomatik sesaat. Janji-janji dalam MoU gagal diimplementasikan secara nyata. Apakah Aceh kena tipu?” lontarnya tajam.
Kekecewaan paling mendasar menurutnya terletak pada sejumlah poin kunci yang hingga kini belum dituntaskan. Mulai dari status dan pengakuan simbol Bendera Aceh, kejelasan tentang batas wilayah Aceh, hingga pembagian hasil sumber daya alam 70:30 yang hingga kini masih menjadi teka-teki dan polemik tak berujung.
“Sudah 20 tahun berlalu, tapi bendera Aceh pun tak kunjung selesai. Apalagi soal batas Aceh dan hasil alam. Ini semua memalukan. MoU Helsinki seharusnya menjadi tonggak kedaulatan Aceh dalam bingkai Republik, bukan sekadar arsip sejarah tanpa makna,” tegas Tarmizi.
Ia juga mengkritik keras elite politik lokal yang menurutnya abai terhadap nasib rakyat. “Rakyat menjerit meminta kejelasan, dari pesisir hingga pegunungan, tapi pemimpin justru sibuk menikmati anggaran. Mereka nyaman, rakyat menderita. Ini sungguh ironi. 20 tahun damai, tapi implementasi MoU masih nol besar,” ungkapnya.
Nada serupa disampaikan Mukarram, eks kombatan GAM yang kini menetap di Denmark. Ia menyebut bahwa kegagalan pelaksanaan MoU merupakan bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan dan darah yang tumpah dalam konflik selama puluhan tahun. “Aceh ditipu? Kita tidak tahu siapa yang menipu, tapi yang jelas rakyat Aceh belum menerima hak-haknya sesuai yang dijanjikan di Helsinki. Ini kemunafikan, dan kita harus jujur mengakuinya,” kata Mukarram.
Pernyataan kritis ini mencerminkan kegelisahan yang masih membekas di tengah masyarakat Aceh. Harapan besar yang dulu disematkan pada MoU Helsinki kini berbalik menjadi keraguan dan kemarahan atas ketidakjelasan pelaksanaannya. Di tengah bayang-bayang peringatan 20 tahun perdamaian, suara dari akar rumput menuntut kejujuran, evaluasi total, dan tindakan nyata.
Pertanyaannya kini: Apakah MoU Helsinki akan terus menjadi dokumen mati? Ataukah para pemimpin akan menjawab amanah sejarah ini dengan keberanian dan integritas?
Rakyat Aceh, yang telah lama bersabar, kini menanti. []