Jakarta – Sengketa hukum antara Siti Hardiyanti Hastuti Rukmana atau Tutut Soeharto dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memasuki babak baru. Secara mengejutkan, gugatan yang sempat dilayangkan Tutut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta kini resmi dicabut. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Menkeu Purbaya usai menghadiri rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (18/9/2025).
“Saya dengar sudah dicabut barusan, dan Bu Tutut kirim salam sama saya, saya juga kirim salam sama beliau. (Tuntutan) sudah dicabut sekarang,” ujar Purbaya kepada wartawan saat ditemui usai rapat, sambil tersenyum.
Pencabutan gugatan ini sekaligus meredakan ketegangan hukum yang sebelumnya mengemuka setelah Tutut Soeharto menggugat Menkeu Purbaya atas penerbitan Surat Keputusan Nomor 266/MK/KN/2025 tertanggal 17 Juli 2025, yang berisi pencekalan bepergian ke luar negeri. Pencekalan itu dilakukan dalam rangka proses pengurusan piutang negara atas nama dua perusahaan yang dikaitkan dengan Tutut, yakni PT Citra Mataram Satriamarga Persada dan PT Citra Bhakti Margatama Persada.
Gugatan di PTUN diajukan dengan alasan bahwa pencekalan itu dianggap telah mencederai hak hukum pribadi Tutut, serta disebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Melalui kuasa hukumnya, Tutut melakukan perlawanan hukum lewat jalur administrasi negara untuk menggugat keputusan Menkeu tersebut.
Namun kini, dengan dicabutnya gugatan, proses hukum yang sempat menjadi sorotan publik tampaknya akan selesai tanpa melanjut ke persidangan. Meski demikian, kasus ini menjadi pengingat bahwa perburuan piutang negara, khususnya yang berkaitan dengan obligor terkait krisis BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), masih menyisakan jejak yang belum usai.
Sekadar kilas balik, keluarga Cendana, termasuk beberapa perusahaan yang dikaitkan dengan keturunan Presiden ke-2 RI Soeharto, telah beberapa kali menjadi target penagihan aset negara dalam skema pemulihan keuangan negara pasca reformasi. Pemerintah dalam hal ini terus berupaya menagih piutang dari perusahaan-perusahaan yang dianggap memiliki keterkaitan dalam skandal BLBI.
Pencabutan gugatan Tutut menandai potensi pelembutan hubungan antara pihak terkait. Bahkan Purbaya secara eksplisit menyampaikan bahwa komunikasi sudah terjadi, meski sebatas dalam bentuk “saling kirim salam”. Namun, makna politik dan hukum dari salam tersebut tentu tidak sesederhana perkataan.
Meski proses hukum tak dilanjutkan, substansi dari polemik ini—yakni peran pejabat negara dalam menegakkan kewenangan atas pemulihan aset, serta hak warga negara untuk melakukan pembelaan hukum—kembali menjadi catatan penting.
Dengan berakhirnya gugatan ini, publik kini menanti, apakah langkah damai ini akan menjadi awal dari penyelesaian piutang negara yang lebih konstruktif, atau justru menjadi preseden yang menyisakan pertanyaan tentang konsistensi dan transparansi dalam penagihan aset negara terhadap nama-nama besar yang selama ini masuk dalam daftar sasaran. (*)