Banda Aceh – Dalam senyapnya Minggu pagi, 22 Juni 2025, ruang seminar di Banda Aceh bergemuruh oleh semangat perubahan. Seminar Cendekiawan bertema “Akselerasi Pengembangan Sektor Migas dan Pertambangan Aceh: Menuju Tata Kelola Berkelanjutan dan Kesejahteraan Masyarakat”, menjadi panggung bagi para pemikir, akademisi, dan pemangku kepentingan untuk menelusuri arah baru pengelolaan sumber daya alam di Bumi Serambi Mekkah.
Ketua Umum ICMI Aceh, Dr. Taqwaddin, menjadi salah satu narasumber utama bersama tokoh-tokoh strategis seperti Kepala Bappeda Aceh mewakili Gubernur, Kepala BPMA, Rektor USK, Rektor UIN Ar-Raniry, dan Kepala Dinas ESDM. Seminar ini digelar oleh Pemuda ICMI Aceh dan dihadiri lebih dari 300 peserta dari beragam unsur masyarakat strategis.
Dalam paparannya yang bernas dan menyentuh akar persoalan, Taqwaddin membuka dengan landasan konstitusi: Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang mengakui keistimewaan dan kekhususan daerah. Ia menegaskan bahwa Aceh adalah satu-satunya provinsi yang memiliki dua landasan hukum khusus: UU No. 44/1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Kedua undang-undang ini mengatur 4 keistimewaan dan 26 kekhususan Aceh, termasuk dua yang sangat relevan dalam seminar: pengelolaan sumber daya alam dan pembentukan Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA). Namun, ironinya, Aceh yang diberi kekhususan dalam hukum, justru masih terpuruk dalam data sosial dan ekonomi.
“Angka kemiskinan tertinggi di Sumatera, korupsi urutan ke-6 nasional, narkoba nomor dua tertinggi, dan stunting urutan ke-7 nasional. IPM Aceh juga masih rendah, dan indeks literasi masyarakat belum menggembirakan,” ungkap Taqwaddin lugas.
Ia menyoroti pentingnya membedakan antara penguasaan dan pengelolaan. Penguasaan adalah dasar legal—tentang hak, kewenangan, dan tanggung jawab; sementara pengelolaan adalah praktik manajerial: dari perencanaan hingga evaluasi. Kebijakan yang mengabaikan keduanya ibarat rumah tanpa fondasi—goyah dan mudah runtuh.
Dalam konteks hukum, Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan UU Pokok Agraria menyebut bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dikuasai oleh negara. Tetapi negara bukan pemilik, melainkan pengatur untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dan dalam hal ini, Aceh memiliki kewenangan khusus sebagaimana tertuang dalam Pasal 156 UUPA:
Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengelola SDA baik di darat maupun di laut. Termasuk eksplorasi, eksploitasi, hingga pengawasan sektor pertambangan, kehutanan, perikanan, dan kelautan.
Namun tumpang tindih regulasi muncul. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah justru menarik kewenangan itu dari kabupaten/kota, kecuali sebagian kecil terkait panas bumi. Ini menimbulkan disonansi hukum yang tajam dan berisiko pada praktik tata kelola yang tidak efektif.
“Banyak Dinas Pertambangan kabupaten/kota di Aceh kini tak lagi berwenang. Padahal aktivitas galian terus terjadi. Kabupaten hanya bisa menonton kerusakan tanpa kuasa menghentikannya,” ujar Taqwaddin penuh keprihatinan.
Ia mengajukan asas lex specialis derogat legi generali—bahwa UU khusus (UUPA) harus mengesampingkan UU umum (UU Pemda). Namun dalam praktik, hal itu sering diabaikan. Di titik inilah peran cendekiawan, akademisi, dan masyarakat sipil menjadi vital: untuk mendesak konsistensi penerapan hukum sesuai kekhususan Aceh.
Solusi yang ditawarkan pun tidak hanya berhenti pada aspek normatif. Taqwaddin mengajak Pemerintah Aceh merumuskan kebijakan investasi tambang dan migas yang tepat guna, inklusif, dan berkelanjutan. Harus ada keterlibatan multi-stakeholder—dari pemerintah, kampus, komunitas lokal, hingga masyarakat adat.
Tak kalah penting, SDM Aceh harus dipersiapkan dengan serius. Dunia pertambangan dan migas adalah dunia dengan standar tinggi—membutuhkan keterampilan, etos kerja, dan kapasitas yang memadai. Ia mengingatkan agar jangan sampai saat eksploitasi dimulai, masyarakat Aceh hanya menjadi penonton, “lagee buya krung teu dong-dong, buya tamong meuraseuki.”
“Kalau SDM kita sudah kuat dan terlatih, maka menjadikan warga Aceh sebagai tenaga kerja prioritas adalah pilihan yang masuk akal dan adil. Itulah jalan menuju kesejahteraan yang berdampak langsung dan menciptakan multiplier effect bagi rakyat.”
Dengan semangat itu, ICMI Aceh menyerukan agar kebijakan sumber daya alam bukan hanya legal, tapi juga etis, ekologis, dan berorientasi pada rakyat. Dalam bahasa hukum, ada asas pacta sunt servanda—kesepakatan mengikat seperti undang-undang. Maka sudah sepatutnya kesepakatan Aceh sebagai daerah istimewa juga dipegang dengan teguh.
Seminar ini bukan sekadar forum diskusi, tetapi panggilan untuk menjahit kembali semangat otonomi Aceh dalam balutan keadilan sosial, kelestarian lingkungan, dan kemajuan manusia Aceh. (*)