Gayo Lues, Aceh — Sejak tahun 2020 hingga 2025, setidaknya sudah tiga kali dilakukan pelepasan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) ke kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), tepatnya di wilayah Gayo Lues. Kegiatan konservasi ini menuai perhatian dan pertanyaan dari masyarakat setempat yang merasa bahwa wilayah mereka seolah menjadi lokasi utama pelepasan satwa buas tersebut. Padahal, TNGL mencakup lebih dari 830 ribu hektare lahan dan tersebar di 11 kabupaten di dua provinsi, Aceh dan Sumatera Utara.
Masyarakat mulai mempertanyakan alasan di balik pemilihan Gayo Lues sebagai lokasi pelepasan. Apakah karena faktor geografis, ekosistem, atau ada pertimbangan lain yang belum disampaikan ke publik? Mereka juga ingin tahu apakah ada kajian ilmiah yang mendalam dan komprehensif sebelum keputusan tersebut diambil. Terlebih lagi, apakah dinas lingkungan hidup dan pemerintah daerah benar-benar terlibat secara aktif dalam proses ini?
Warga tidak sekadar mempertanyakan, mereka juga menuntut transparansi. Mereka ingin melihat draf kajian ilmiah dan perencanaan pelepasan, agar bisa memahami secara objektif dampak positif dan negatif terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Karena mayoritas penduduk Gayo Lues adalah petani, pekebun, dan peladang yang hidup bergantung pada alam, kehadiran satwa predator tentu bukan hal sepele bagi mereka.
Kekhawatiran pun mengemuka. Jika terjadi konflik antara manusia dan harimau, seperti penyerangan terhadap ternak atau yang lebih parah, terhadap manusia, siapa yang akan bertanggung jawab? Apakah pemerintah daerah siap menanggung kerugian dan memberi perlindungan hukum dan sosial bagi warga yang terdampak?
Masyarakat Gayo Lues menegaskan bahwa mereka bukan anti-konservasi. Mereka memahami pentingnya menjaga keberlangsungan satwa langka seperti harimau Sumatera. Tapi, mereka juga berhak mendapatkan rasa aman dan informasi yang jelas tentang maksud dan tujuan dari pelepasan tersebut. Mereka bukan orang-orang bodoh yang tidak mengerti konservasi, mereka hanya ingin dilibatkan, dihargai, dan dijelaskan secara jujur.
Pelepasan satwa ke alam liar tidak hanya soal penyelamatan ekosistem, tetapi juga soal bagaimana manusia dan alam bisa hidup berdampingan secara harmonis. Maka dari itu, kehadiran harimau di negeri seribu bukit ini harus dibarengi dengan kebijakan yang adil, terbuka, dan berpihak pada keselamatan semua makhluk, termasuk manusia yang menjadi bagian dari ekosistem itu sendiri. (*)