Gayo Lues , 24 Juli 2025– Aceh. Dalam Undang-Undang, hutan lindung adalah kawasan negara yang ditetapkan untuk menjaga sistem penyangga kehidupan: air, tanah, dan keanekaragaman hayati. Tapi di Gayo Lues, Aceh, fungsi itu kini terancam sirna. Sebuah perusahaan tambang bernama PT Gayo Mineral Resources (GMR) diduga telah menanamkan kuku konsesi di tengah-tengah jantung hutan lindung dan bahkan kawasan konservasi nasional Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).
Bukti-bukti terbaru yang diperoleh menunjukkan bahwa wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT GMR bukan hanya menabrak satu zonasi, melainkan tiga sekaligus: hutan lindung (HL), hutan produksi terbatas (HPT), dan kawasan suaka alam (KSA). Lebih dari itu, peta situasi perusahaan tersebut yang tersebar sejak April 2025 tumpang tindih secara langsung dengan kawasan inti TNGL — zona yang secara hukum tak bisa disentuh aktivitas eksplorasi maupun eksploitasi tambang.
Citra dari Geoportal KLHK memperlihatkan dengan jelas bahwa kawasan kerja PT GMR mencakup wilayah-wilayah seperti Pantan Cuaca, Dabun Gelang, Rikit Gaib, dan Blangkejeren — semua masuk dalam zona ungu yang menandakan TNGL. Tapi tak kalah penting, sebagian besar wilayah itu juga termasuk dalam klasifikasi hutan lindung, area yang dilindungi bukan karena status konservasi semata, tapi karena nilai ekologisnya sebagai penyangga tata air dan pengendali bencana alam.
“Hutan lindung itu bukan tempat main-main. Itu jantung sumber air dan pengaman tanah masyarakat. Kalau hutan lindung dibongkar tambang, maka banjir, longsor, dan kekeringan hanya soal waktu,” kata Tengku Samsir Ali M. Pang Rayang, Ketua GNPK DKI Jakarta sekaligus Kader Partai Gerindra.
Ia mengecam keras aktivitas PT GMR yang menurutnya “tak hanya serobot ruang negara, tapi juga mencabik-cabik kehormatan hukum lingkungan”. Samsir menegaskan, hutan lindung bukan tanah kosong yang bisa seenaknya dikuasai korporasi. Ia mendesak agar Presiden dan Menteri LHK turun langsung menangani kasus ini sebelum lebih banyak kerusakan terjadi.
“Saya bicara ini bukan sekadar kader partai, tapi sebagai anak bangsa. Kalau negara diam, ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, ini pengkhianatan terhadap tanah air,” ujarnya.
Peta PT GMR juga memuat kejanggalan mencolok. Dalam bagian referensinya tertulis bahwa dasar peta kawasan hutan diambil dari SK Menteri Kehutanan untuk Provinsi Maluku Utara — padahal objek konsesi berada di Provinsi Aceh. Kesalahan itu menimbulkan dugaan kuat bahwa perusahaan ini menyusun dokumen perizinan dengan dokumen palsu atau copy-paste dari provinsi lain, tanpa validasi spasial yang benar.
Hingga berita ini dirilis, pihak PT GMR tidak memberikan tanggapan. Dihubungi melalui email dan nomor resmi, tak ada balasan. Di sisi lain, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Aceh menyatakan belum pernah melihat dokumen Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) atau dokumen Amdal atas nama PT GMR.
Berdasarkan aturan, seluruh aktivitas yang masuk ke dalam hutan lindung maupun taman nasional wajib mengantongi izin khusus yang dikeluarkan oleh Kementerian LHK. Izin itu pun hanya dapat diberikan dalam situasi luar biasa dan untuk kepentingan nasional, bukan kepentingan korporasi.
Tengku Samsir menyatakan bahwa GNPK akan menyurati langsung Menteri LHK dan Ketua KPK agar membuka penyelidikan atas izin yang dimiliki PT GMR. “Kami minta segera dihentikan, disita dokumen, dan ditindak siapa pun pejabat yang ikut meloloskan. Jangan sampai hutan lindung dijadikan lahan bancakan elit-elit tambang,” tegasnya.
Hutan lindung bukan tempat tambang. Ia adalah tempat air disimpan, tanah dicegah dari longsor, udara disaring, dan kehidupan ditopang. Ketika wilayah seperti Gayo Lues — daerah pegunungan dengan curah hujan tinggi dan lereng curam — dibuka untuk eksplorasi tambang, maka bencana ekologis tinggal menunggu giliran.
Negara tidak bisa lagi berlindung di balik dalih prosedur. Fakta lapangan sudah terang. Kawasan PT GMR berada di zona larangan keras: taman nasional, hutan lindung, dan kawasan suaka alam. Jika kegiatan eksplorasi dibiarkan, berarti negara turut melegitimasi perusakan lingkungan secara sistemik.
Jika hukum tak mampu melindungi hutan lindung, lalu apa yang tersisa dari kehormatan negara ini?
Peliput: Tim Investigasi Baranews