Opini oleh : Sri Radjasa MBA
KETIKA publik ramai-ramai membahas soal mega korupsi import minyak dan BBM di Pertamina yang sudah sejak beberapa minggu lalu disidik oleh Jampidsus, Jaksa Agung ST Burhanuddin malah mengadakan pertemuan dengan Erick Tohir menteri BUMN hingga larut malam. Padahal bukan rahasia lagi, Erick Tohir patut bertanggung jawab atas perampokan uang negara di Pertamina.
Perilaku Jaksa Agung tentunya mengabaikan etika penegakan hukum. Belum lagi kasus dugaan korupsi pengadaan alat intelijen di Kejagung dengan nilai proyek sangat fantastic Rp 5,78 Triliun dan diduga melibatkan Jamintel Reda Manthovani, marak diberitakan media massa, Jaksa Agung hanya bisa diam seribu bahasa.
Kemudian masih dalam ing atan public, Jaksa Agung memerintahkan menghentikan proses hukum kasus papa minta saham yang melibatkan Setnov dan Riza Chalid.
Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah produk kekuasaan tiran Jokowi, dipandang sudah tidak layak lagi berada dalam “perahu Prabowo” yang mengangkat jargon “kejar korupsi hingga ke kutub utara”. Terlebih lagi adanya RUU Kejaksaan yang mengamanatkan kekuasaan power full ditangan Jaksa Agung.
Sudah saatnya Presiden Prabowo menunjuk pimpinan institusi hukum dengan standar kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual dan kecerdasan moral mendekati almarhum Hoegeng dan Baharuddin Lopa, jika masih menginginkan Indonesia tidak tinggal sejarah.
Hari ini rakyat sudah muak dengan tontonan prestasi semu para penegak hukum. Rakyat menghendaki etika bersih itu adalah bersih karena mampu mengelola nafsu, bersih karena memang tidak suka kotor, bukan bersih karena belum kebagian atau bersih karena belum tertangkap.
Penulis adalah Pemerhati Intelijen