OLEH AFINAS QADAFI,CPM Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Negeri Zawiyah Cot Kala Langsa dan Ketua SEMMI Komisariat IAIN Langsa.
Siapa sih yang tidak mengenal Aceh Selatan? Salah satu Kabupaten tertua di Provinsi Aceh, tau ga sih Aceh Selatan mempunyai salah satu kesenian tradisional yaitu Rapa’i Dabus, nah apakah seni ini HARAM? Mari kita bahas
Gimana sih cara permainan seni Dabus ini?
Dalam permainan kesenian Rapa’I Dabus, selain menggunakan alat musik seperti gendang, seni ini juga menggunakan senjata tajam, antara lain yaitu:
Alat pertama yaitu, buah dabus yang kedua, rencong yang ketiga, pedang keempat pisau belati yang kelima, batu bulat yang beratnya sekitar 5 sampai 10 kg yang keenam, rantai yang ketujuh, gergaji chain-saw (alat penebang pohon besar), nah yang terakhir ada besi permobil.
Nah kesenian ini dimainkan sekitar 20 hingga 30 orang dengan formasi duduk melingkar, masing-masing memegang gendang. Permainan ini dipimpin oleh seorang khalifah atau orang yang menguasai seluk busuk perdabusan, termasuk menguasai ilmu kebal. Begitu sya’ir-sya’ir diucapkan, sang khalifah atau salah satu anggota masuk kedalam lingkaran dan berjabat tangan dengan sang khalifah serta anggota lainnya yang sedang memainkan gendang satu persatu.
Kemudian dengan senjata tajam di tangan, dia melakukan gerakan tari secara konsentrasi mengikuti irama gendang dengan menyimak doa-doa yang diyakini dalam hati. Apa bila suara gendang telah membahana gemuruh, anggota yang tengah memegang senjata tajam itu mulai meloncat sambil meliuk-liukkan tubuhnya sambil menikam paha,tangan,perut atau kepalanya atau bahkan peserta berani memotong lidahnya sendiri.
Nah begini penjelasan haram atau tidaknya Rapa’I Dabus ini.
Dahulu, menurut riwayat kaum sufi pada abad ke 7H, rapa’i dabus ini berasal dari nyanyi-nyanyian atau puisi berbentuk doa yang dibacakan oleh seorang mursyid atau pemimpin tarikat dalam ajaran tasawufnya. Mursyid ini membacakan doa dan zikir dengan merdu dan lemah lembut dalam waktu lama, sampai dirinya dan pengikutnya tak sadarkan diri atau fana billah, nah fana billah inilah yang jadi tujuan untuk capai kepuasan batin dan kelezatan jiwa.
Menurut sejarahnya, kelompok sufi ini sebelum melakukan kegiatan mujahadah secara bersama, terlebih dahuu berwudhu serta berpakaian sopan serta bersih dan biasanya dilakukan setelah shalat Ashar di dalam ruangan tertutup dan tidak dipertontonkan kepada publik dikarenakan menghindari sifat riya.
Lantas, pada belakangan ini saja awal abad 19 M oleh generasi seterusnya telah menyalahgunakan fungsi zikir dengan gendang ini kepada hal yang memamerkan ilmu kebal kepada publik. Bahkan sengaja dipertontonkan atau kadang dilombakan, padahal kesenian zikir gendang ini hanya sebagai alat orang suci untuk berjalan dengan ajaran tarikat menuju fana billah. Kalaupun ingin juga zikir dalam lagu kesenian tradisional ini digunakan untuk pengebalan diri, biasanya para moyang kita dahulu memanfaatkan ilmu ini saat mereka berperang dengan kaum penjajah atau kaum kafir yang menjajah negeri mereka.
Para moyang yang mengamalkan tarikat Naqsyabandy atau tarikat lainnya, kebanyakan mereka tidak mempunyai rasa takut kepada kaum kafir, meskipun harus mati syahid dalam peperangan di medan tempur, demi mempertahankan tanah air, bangsa dan agama. Justru itu tak heran jika rakyat melawan penjajah, yang selalu jadi pemimpin atau komandan perang dipimpin kaum ulama yang taat seperti : Tengku Chik Di Tiro, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponerogo, Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari, dan lainlain.
Diceritakan sewaktu Tengku Amir, Teuku Cut Ali dan Panglima Rajo Lelo, Tengku Ali Usuh dan Mat Sisir memerangi pasukan penjajah pada abad 19 adalah lima orang pejuang dari Aceh Selatan yang mempunyai ilmu kebal, tapi karena sedikit punya rasa riya pada diri pejuang saat itu dikarenakan memaki penjajah saat berperang , pada akhirnya sebagian mereka tewas akibat terkena peluru dan senjata tajam. Tengku Amir dari Tapaktuan tewas ditembak di Pegunungan Meukek, Teuku Cut Ali tewas di Alue Bebrang, Lawesawah, Kluet Timur, kepalanya dipotong dan dibawa dan ditanamkan di Suaq Bakung, Kluet Selatan
Nah kapansih dipopulerkan. Nah biasanya seni ini dipertunjukkan pada acara keramaian, pesta perkawinan, sunat rasul dan pada HUT Kemerdekaan Republik Indonesia.
Dulu, di Tapaktuan pada awal abad XIX M, Kesenian Rapa’I Dabus ini mulai dipertandingkan antar kampung oleh Pemerintah Belanda pada hari Kelahiran Ratu Wihelmina, padahal pada masa Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607 – 1636 kesenian ini sangat dilarang ditampilkan, karena waktu itu Syekh Abdurrauf yang menjadi penasehat Sultan Iskandar Muda melarang keras kesenian ini dengan alasan, pada seni ini terdapat hal yang melanggar syariat Islam yang kaffah, di antaranya ialah:
Pertama yaitu, menampak-nampakkan sikap takabur berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Mukmin ayat 72 yang artinya “maka neraka jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang yang meyombongkan diri (takabur).
Kedua yaitu, mendatangkan sikap membanggakan diri kepada manusia karena sengaja di pertontonkan pada khalayak, padahal agama Islam melarang keras penganutnya untuk meninggi karena kelebihan yang dimilikinya.
Ketiga yaitu, diragukan peserta dabus tidak mampu bersikap rendah hati dalam pergaulan sehari-hari serta tidak suka menampakkan kesaktiannya di sembarang tempat, padahal sikap wara’ dan tawaduk serta rendah hati, sabar, juga menyembunyikan dan merahasiakan kekeramatan atau disebut sakti, dan juga tidak riya adalah tuntutan Islam yang kaffah, pada dasarnya firman Allah dalam surat Al-Ma’un ayat 6 yang artinya : “yaitu orang-orang yang berbuat riya”. Ayat ini ditafsirkan: Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau kemasyhuran di mata masyarakat.
Keempat yaitu, Rapa’I Dabus nantinya akan ada sikap permusuhan, karena masing-masing pihak yang bertanding dipastikan ingin lebih dari lawannya dan ingin lebih sakti bahkan lebih hebat atau juga ingin lebih dipuji oleh para penonton yang akhirnya jika sudah merasa serba lebih akan tersemat rasa ujub atau mengagumi diri, bila sudah ada dalam hati rasa ujub, maka akan timbul rasa merendahkan orang lain, padahal agama Islam tidak pernah mengajarkan hal yang seperti itu, nah oleh karena itulah Syekh Abdurrauf atau Syiah Kuala melarang keras permainan Rapa’I Dabus ini pada zaman keemasan Sultan Iskandar Muda.
Kelima yaitu, mendatangkan sikap ingin bersaing, berlomba-lomba mengalahkan kelebihan dan kesaktian lawan, kemudian memberi peluang untuk berbuat curang atau berkhianat kepada lawan dalam berdabus, sehiingga tak jarang pemain kesenian Rapa’I Dabus ini banyak yang terluka berlumuran darah atau menjadi kecurangan pihak lawan.
Maka oleh itu seperti penjelasan di atas kesenian Rapa’i Dabus ini sangat dilarang keras karena akan menimbulkan sikap meninggikan diri.