BANDA ACEH — Polemik pengalihan empat pulau yang selama ini diyakini sebagai bagian dari wilayah Aceh kembali mencuat dan menimbulkan kegelisahan di tengah masyarakat. Sorotan tajam datang dari Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Aceh, Arif Pribadi, yang menilai langkah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian justru berpotensi memicu ketegangan antarprovinsi.
Empat pulau yang dipermasalahkan adalah **Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek**, yang berdasarkan **Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri)** telah dialihkan menjadi bagian dari wilayah administratif Provinsi Sumatera Utara.
Pernyataan Mendagri yang menyarankan agar pengelolaan empat pulau itu dilakukan secara kolaboratif antara Pemerintah Aceh dan Sumut pada Kamis, 12 Juni 2025, dinilai tidak menyelesaikan akar masalah. Justru sebaliknya, menurut Arif Pribadi, pernyataan tersebut memperkeruh suasana dan membuka kembali luka lama konflik Aceh yang belum sepenuhnya pulih.
“**Pernyataan Mendagri ini sangat tidak bijak. Seharusnya beliau menyelesaikan masalah dengan dasar hukum dan sejarah yang jelas, bukan malah melempar solusi yang berpotensi memecah-belah dua daerah. Jangan adu domba Aceh dan Sumut!**” tegas Arif.
Ia menambahkan, **bukti-bukti otentik** yang menunjukkan keempat pulau tersebut masuk ke dalam wilayah Aceh sudah sangat jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. “Bukan asal klaim. Ada dasar historis, hukum, bahkan administrasi yang menunjukkan keempat pulau itu masuk Aceh. Jadi tidak bisa sembarangan dipindah ke Sumut,” katanya.
Lebih lanjut, Pemuda Muhammadiyah Aceh meminta agar Mendagri segera **mencabut keputusan yang mengalihkan empat pulau itu**, serta menghentikan segala bentuk kebijakan yang memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.
“**Jangan ganggu Aceh lagi dengan keputusan yang tidak berdasar. Ini bisa jadi pemicu konflik baru. Kami tidak tinggal diam jika wilayah kami diganggu. Aceh sudah banyak berkontribusi untuk Indonesia, jangan balas dengan ketidakadilan.**”
Arif juga meminta agar pemerintah pusat bersikap adil dan objektif dalam menyikapi batas wilayah provinsi, serta mendengarkan suara masyarakat lokal yang selama ini merasa terabaikan.
“Pemerintah harus mengedepankan fakta dan rasa keadilan. Jangan hanya karena keputusan administratif lalu mengorbankan kehendak dan sejarah rakyat Aceh,” pungkasnya.
Sementara itu, hingga berita ini ditulis, belum ada pernyataan resmi dari pihak Kemendagri menanggapi desakan dari Pemuda Muhammadiyah Aceh. Namun reaksi keras dari berbagai elemen sipil di Aceh menunjukkan bahwa polemik ini tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan kompromi administratif semata.
Pemerintah pusat kini dihadapkan pada tuntutan untuk bertindak cepat, adil, dan transparan dalam menyelesaikan persoalan tapal batas yang menyangkut harga diri dan kedaulatan wilayah Aceh. Jika tidak, dikhawatirkan polemik ini akan berkembang menjadi krisis kepercayaan antara pemerintah pusat dan daerah. (*)