Oleh : Turham AG, S. Ag., M. Pd
Dosen IAIN Takengon
Zaman dahulu urang Gayo sangat memegang teguh dan selalu berpedoman kepada nilai-nilai agama serta prinsip adat, konsekwensi dalam menjalankan perintah agama dan adat istiadat tersebut demi untuk menjaga ketertiban, keamanan dan keseimbangan serta menjamin terlaksananya agama dan syari’at dalam masyarakat sehingga membuat falsafah dalam kehidupan bermasyarakat.
Falsafah yang menjadi prinsip urang Gayo tersebut dinamakan peri mestike (kalimat yang bernilai mulia dan serat dengan makna). Falsafah urang Gayo mencakup pada keseluruhan kehidupan masyarakat dimaksudkan sebagai pengawal keseimbangan syari’at dan adat istiadat dalam kehidupan sehari-hari.
Prinsip adat urang Gayo yang dikenal dengan peri mestike tersebut adalah agama ibarat empus, edet ibarat peger (agama laksana kebun, adat laksana pagar), artinya memperkuat adat untuk melindungi dan menjamin terlaksananya agama dan tegaknya hukum dalam masyarakat, dapat dikatakan adat menjadi benteng untuk terjaminya pelaksanaan agama.
Prinsip kati makmur ukum kerna kuet edet (berlakunya hukum dengan baik karena kuatnya adat), maksudnya tegaknya hukum secara baik dalam masyarakat lantaran dikawal oleh kekuatan adat pada masyarakat, karena sejak penyesuaian adat dengan agama maka adat Gayo menjadi panglima mengawal tegaknya agama dalam masyarakat.
Sebab pada prinsip edet mungenal ukum mubeza (adat mencari hukum yang membedakan), bermakna adat bertugas mencari fakta-fakta yang belum diketahui benar dan salah sementara hukum akan menetapkan dan membedakan mana yang benar dan salah.
Mengingat dalam prinsip adat telah digariskan ukum munukum bersipet kalam edet munukum bersipet ujut (hukum menetapkan sesuatu hukum berdasarkan fiman Allah, adat mengatur pelaksanaan hukum sampai menjadi kenyataan), intinya pada prinsip ini adalah ketentuan hukum dikmaksudkan telah diatur sebagaimana syari’at dan adatlah yang menjadi eksekutor pelaksanaan secara kenyataan.
Prinsip adat Gayo diformulasikan ke dalam istilah malu dan madu ni edet. Malu ni edet (pantangan adat) merupakan suatu perbuatan yang tidak dibenarkan oleh adat dan agama untuk dilakukan, sebab perbuatan tersebut merupakan aib (memalukan) dan apabila hal itu terjadi pada satu orang atau satu keluarga maka perlu (wajib) melakukan pembelaan sebagai langkah mempertahankan harga diri sebagai individu maupun keluarga.
Malu ni edet memuat 4 (empat) poin penting sebagai perbuatan yang harus dihindari, pertama malu tertawan (wanita ditawan), artinya apabila wanita atau anak gadis (beberu) pada satu keluarga dilarikan seseorang maka keluarga beberu tersebut akan merasa terhina dan hilang harga dirinya, oleh itu wajib bagi keluarga tersebut melakukan pembelaan
Kedua bela mutan (pembelaan digagalkan orang), maksudnya apabila dalam usaha pembelaan mendapat hambatan atau menemui jalan buntu sehingga seseorang tidak dapat memulihkan haknya.
Ketiga adalah negeri terpancang (keamanan negeri terganggu), pada negeri terpancang ini dimaksudkan termasuk kondisi keluarga sedang tidak baik entah itu tentang batas wilayah atau batas perkebunan maupun terganggu dari segi keamanan dan penyakit, untuk itu wajib dipertahankan.
Keempat yaitu nahma teraku (rusak nama baik) artinya bila seseorang maupun keluarga dan masyarakat secara keseluruhan sudah dirusak atau tercemar maka harus dibela dan dipulihkan.
Disamping malu ni edet (pantangan adat) terdapat juga madu ni edet (larangan adat) yang memuat 4 (empat) poin penting, pertama terjah maksudnya bila seseorang mentang pihak yang berwajib dalam menyelesaikan suatu masalah. Kedua empah yaitu mengatakan atau membuka-buka kejelekan yang berwajib dihubungkan dengan masalah yang sedang dihadapi. Ketiga keliling, artinya seseorang mencari penyelesaian masalah diluar prosedur dan wewenang pihak berwajib dan keempat juge yaitu meminta meminta sesuatu yang atau menggugat kembali sesuatu yang telah diserahkan atau dihibahkan
Baik pantangan maupun larangan adat dimaksudkan secara umum bertujuan untuk menyelesaikan masalah yang biasa terjadi dalam kehidupan nyata di masyarakat dan pemerintahan, disamping itu juga untuk melindungi masyarakat agar tidak melakukan malu dan madu ni edet, terutama pada pemeliharaan nahma (menjaga nama baik).