Bener Meriah, Baranews, 25 Juli 2025 — Di sela-sela riuh tawa pedagang, seruan tawar-menawar, dan lalu-lalang pembeli di Pasar Simpang Tiga, Kabupaten Bener Meriah, sekelompok mahasiswa Universitas Syiah Kuala (USK) menghadirkan suasana yang berbeda. Tanpa banyak gembar-gembor, mereka datang dengan misi sederhana namun berdampak besar: menghidupkan semangat membaca melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik Literasi. Di antara deretan lapak dan kios, berdiri sebuah perpustakaan mini yang menjadi titik temu antara anak-anak dan dunia bacaan yang mungkin selama ini jauh dari jangkauan mereka.
Perpustakaan itu bukan ruang berpendingin dengan rak kayu mengkilap, melainkan sebuah sudut kecil beralas tikar yang dipenuhi buku cerita bergambar, bacaan islami, hingga buku pendidikan dasar. Anak-anak datang dengan wajah penasaran dan antusias. Mereka duduk lesehan, membaca dalam diam, atau sesekali tertawa bersama saat menemukan kisah lucu dalam buku yang dibaca. Para mahasiswa, yang menjadi relawan penggerak kegiatan ini, tidak sekadar menyediakan buku, tetapi juga menemani, membacakan, dan mengajak anak-anak memahami isi bacaan secara interaktif.
Salah satu pengunjung setia perpustakaan mini itu adalah Rayyan, bocah berusia 11 tahun yang hampir setiap hari datang. Ia mengaku senang karena bisa membaca banyak buku dan merasa nyaman bersama kakak-kakak mahasiswa. Namun di balik kepolosannya, terselip kekhawatiran. Ia berharap perpustakaan itu tidak hilang ketika para mahasiswa menyelesaikan masa KKN mereka. Harapan sederhana itu menjadi pengingat yang dalam, bahwa akses literasi masih menjadi kebutuhan yang belum merata, dan kehadirannya membawa dampak besar bagi anak-anak di daerah yang minim fasilitas pendidikan informal.
Selama program berlangsung, mahasiswa juga mengadakan kegiatan tambahan seperti pendampingan belajar, sesi membaca bersama, dan lomba bercerita yang meningkatkan kepercayaan diri anak-anak dalam menyampaikan ide. Masyarakat sekitar menyambut kegiatan ini dengan terbuka. Para pedagang yang sebelumnya ragu kini ikut mendukung. Mereka melihat sendiri bagaimana anak-anak mereka mulai lebih sering membaca, mengurangi waktu bermain gawai, dan menunjukkan minat yang baru terhadap dunia buku.
Kegiatan ini memang tidak permanen. Masa pengabdian mahasiswa akan segera usai. Namun nilai yang ditanamkan melalui kegiatan literasi ini meninggalkan jejak yang tidak sebentar. Para mahasiswa berharap ada keberlanjutan—entah dari pemerintah daerah, sekolah, atau komunitas setempat—untuk membangun pojok baca yang lebih permanen di area publik seperti pasar. Bukan sekadar fisik bangunan, tetapi kehadiran ruang baca yang hidup, yang bisa dijangkau siapa saja tanpa syarat, kapan saja dibutuhkan.
Pasar, yang selama ini identik dengan aktivitas ekonomi semata, perlahan bertransformasi menjadi ruang pendidikan alternatif. Anak-anak seperti Rayyan belajar mengenal dunia lewat buku, membuka cakrawala mereka sedikit demi sedikit dari halaman yang mereka baca. Dari tengah keramaian dan kesederhanaan, lahirlah harapan bahwa budaya membaca tidak harus dimulai dari kota besar atau gedung sekolah megah. Ia bisa tumbuh dari tikar sederhana di sudut pasar—asal ada niat, upaya, dan kepedulian yang tulus dari mereka yang mau bergerak. (Dani)