Gayo Lues, Bara News — Genangan air berwarna keabu-abuan dengan kilap logam samar itu pertama kali ditemukan warga saat sore menjelang malam. Di satu titik hutan lindung di Kecamatan Pantan Cuaca, genangan berlumpur itu mengalir pelan menuju sebuah saluran air kecil yang akhirnya bermuara ke kawasan Kenyaran. Warga menyebut air berubah. Keruh. Bau. Dan tak layak dipakai lagi.
Sumber air itu diduga berasal dari aktivitas pengeboran PT Gayo Mineral Resources (GMR), sebuah perusahaan tambang emas yang beroperasi di tengah kawasan hutan lindung Gayo Lues. Sejumlah bukti visual menunjukkan jejak lumpur dari lubang bor yang dibiarkan terbuka tanpa sistem pengendapan limbah yang memadai. Lumpur itu, dalam beberapa kasus, terlihat tumpah bebas ke tanah dan merembes ke aliran air sekitar.
Di lokasi eksplorasi, tak tampak pengamanan khusus pada sistem pembuangan air. Tak ada bak penampungan, tak ada filter, tak ada sistem pengendali air limbah. Air bercampur lumpur diduga mengalir langsung ke anak sungai yang menjadi sumber air masyarakat. Situasi ini membuat banyak pihak khawatir akan adanya kontaminasi bahan kimia atau logam berat dari sisa aktivitas bor.
“Kami sangat prihatin. Air yang tercemar itu bukan hanya merusak ekosistem, tapi juga mengancam keselamatan warga yang menggantungkan hidupnya dari sungai,” kata Abdiansyah, Sekretaris Lembaga Leuser Aceh, saat ditemui Jumat, 25 Juli 2025. Ia menegaskan bahwa aktivitas eksplorasi GMR tidak cukup hanya mengandalkan izin formal, tapi juga harus diawasi dampaknya di lapangan.
PT GMR diketahui mengantongi izin eksplorasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui SK Menteri Kehutanan Nomor 263 Tahun 2025, yang memperbolehkan penggunaan kawasan hutan lindung untuk aktivitas pengeboran. Namun, berdasarkan peta situasi resmi yang diterbitkan pada April lalu, wilayah kerja GMR berada tepat di atas bentang kawasan hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan bahkan mendekati zona suaka alam.
“Itu kawasan resapan air. Seharusnya jadi prioritas perlindungan, bukan malah dijadikan lokasi eksplorasi emas,” lanjut Abdiansyah. Menurutnya, jika pemerintah tidak segera turun tangan, potensi kerusakan lingkungan bisa menjadi permanen.
Warga di Kenyaran dan desa hilir lainnya mengaku mulai khawatir dengan kondisi air sungai. “Airnya sekarang kadang putih keruh, kadang hijau, dan berbau besi. Kami takut minum, takut mandi,” kata seorang warga yang meminta namanya disamarkan. Beberapa warga bahkan mulai mengambil air dari jarak lebih jauh di hutan karena tak percaya lagi pada air sungai dekat pemukiman.
Pakar lingkungan menyebut bahwa pada aktivitas eksplorasi, air bor yang keluar seharusnya ditangani secara ketat karena bisa membawa mineral aktif dan residu logam dari kedalaman tanah. “Jika mengenai lapisan sulfida, maka kandungan arsenik atau merkuri bisa ikut terbawa,” ujarnya.
Hingga berita ini ditulis, pihak PT GMR belum memberikan keterangan resmi. Pesan dan panggilan ke nomor kontak perusahaan tidak direspons. Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Gayo Lues juga belum memberi pernyataan terbuka meski laporan dari warga sudah masuk sejak dua pekan lalu.
Abdiansyah menambahkan bahwa Lembaga Leuser Aceh akan segera melayangkan laporan resmi ke KLHK dan Ombudsman Republik Indonesia. “Kita butuh audit lingkungan independen. Jika benar ada limbah bocor, maka ini bisa jadi pelanggaran berat dan ancaman pidana,” katanya.
Di tengah deru bor dan janji emas di perut bumi Gayo Lues, warga hilir justru menatap cemas pada air keruh yang mengalir ke sawah dan sumur mereka. Tak ada emas di sana. Hanya lumpur. (TIM MEDIA)