Tapaktuan — Gerakan Pemuda Negeri Pala (GerPALA) tak lagi tinggal diam. Mereka akhirnya angkat suara, menyoroti keras tata kelola pertambangan yang selama ini dinilai semrawut, timpang, dan lebih banyak merugikan rakyat dibandingkan membawa kesejahteraan. Dukungan penuh diberikan kepada Bupati Aceh Selatan, H. Mirwan MS, yang mulai berani membongkar ulang pola pemberian izin tambang yang selama ini terkesan liar dan tak terkendali. Langkah ini disebut sebagai momentum untuk menyudahi praktik “tanah dirampas emasnya, rakyat diberi debu”.
Fadhli Irman, Koordinator GerPALA, menyebutkan data mencengangkan: dari catatan Dinas ESDM Aceh, terdapat tujuh perusahaan yang telah memperoleh izin eksplorasi seluas total lebih dari 6.622 hektare, satu koperasi skala usaha (KSU) yang telah mengantongi Izin Usaha Produksi (IUP) seluas 200 hektare, dan dua IUP lainnya telah dicabut dengan total area 1.000 hektare. “Ini angka fantastis. Artinya, ribuan hektare tanah rakyat telah dicaplok atas nama eksplorasi, dan hampir semuanya berada di tangan korporasi, bukan rakyat,” tegasnya.
Irman menyebut kondisi ini bertolak belakang dengan amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, serta Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Dalam aturan itu disebutkan wilayah pertambangan terdiri dari WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan), WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus), dan WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat). Namun faktanya, WPR nyaris tidak pernah muncul di Aceh Selatan. “Semua wilayah diborong habis oleh WIUP, rakyat dan BUMD tak kebagian ruang,” kecam Irman.
GerPALA menilai keputusan Bupati mengeluarkan surat Nomor 540/791 tertanggal 18 Juli 2025 sebagai langkah maju. Surat itu mewajibkan setiap keuchik dan camat berkonsultasi terlebih dahulu sebelum mengeluarkan rekomendasi izin tambang. Selama ini, kata Irman, banyak aparatur gampong dan kecamatan memberikan rekomendasi serampangan. “Akibatnya, perusahaan mudah masuk, merusak alam, dan pergi tanpa jejak kontribusi ke daerah. Yang ditinggal hanya kerusakan dan penderitaan rakyat,” katanya.
GerPALA juga memuji keberanian Bupati menghentikan sementara operasional KSU Tiega Manggis dan PT PSU untuk dievaluasi. Ini sesuai Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2017 jo Qanun Nomor 15 Tahun 2013 yang memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk mengevaluasi bahkan merekomendasikan pencabutan IUP bagi perusahaan tambang yang melanggar ketentuan. “Jika perusahaan tidak menyampaikan rencana eksplorasi tahunan, tidak membayar kewajiban keuangan seperti pajak dan royalti, atau tidak melaporkan progres kerja, maka IUP-nya harus dicabut,” ujarnya lantang.
GerPALA juga menuntut agar seluruh IUP eksplorasi yang telah terbit dievaluasi ketat. Irman mengingatkan, pemegang IUP eksplorasi memiliki sejumlah kewajiban administratif dan finansial yang tak boleh diabaikan. “Kalau tidak patuh, itu artinya merampok kekayaan negara,” ujarnya lagi.
Dalam pandangan GerPALA, pembenahan tata kelola tambang harus dijadikan pintu masuk untuk mendorong kesejahteraan rakyat dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Wilayah bekas tambang seluas 1.000 hektare yang IUP-nya telah dicabut, menurut GerPALA, lebih baik dikelola langsung oleh BUMD. “Cukup sudah tambang jadi kutukan bagi negeri pala ini. Saatnya kita balikkan jadi berkah,” tegas Irman.
Sebagai bentuk keterbukaan informasi, berikut adalah daftar perusahaan pemilik IUP eksplorasi yang saat ini masih tercatat aktif di Aceh Selatan:
-
PT Aceh Selatan Emas – IUP: 545/DPMPTSP/1957/IUP-EKS/2022, Luas: 1.648 Ha (Emas)
-
PT Bersama Sukses Mining – IUP: 545/DPMPTSP/882/IUP-EKS/2024, Luas: 752,4 Ha (Emas)
-
PT Samasama Praba Denta – IUP: 545/DPMPTSP/158/IUP-EKS/2024, Luas: 605 Ha (Emas)
-
PT Acsel Makmur Alam – IUP: 545/DPMPTSP/408/IUP-EKS/2024, Luas: 577,37 Ha (Emas)
-
PT Kotafajar Limestone Persada – IUP: 540/DPMPTSP/1335/IUP-EKS/2022, Luas: 1.800 Ha (Batu Gamping)
-
PT Kotafajar Lempung Persada – IUP: 540/DPMPTSP/144/IUP-EKS/2022, Luas: 345 Ha (Clay)
-
PT Aceh Bumoe Pusaka – IUP: 545/DPMPTSP/719/IUP-EKS/2024, Luas: 894,6 Ha (Bijih Besi)
GerPALA menyatakan bahwa rakyat Aceh Selatan sudah terlalu lama hanya menjadi penonton dan korban dari eksploitasi tambang. “Sudah cukup. Tak boleh lagi ada buya lam krueng teudong-dong, buya tamong meuraseuki. Tak boleh lagi tambang hadir hanya untuk membawa emas dan besi, sementara rakyat cuma makan debu,” tutup Irman.