Gayo Lues, 16 Juni 2025 — Aktivitas eksplorasi tambang emas yang dilakukan PT Gayo Mineral Resource (PT GMR) di kawasan lereng Tangsaran, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, bukan hanya menimbulkan keresahan sosial dan kerusakan ekologis, tetapi juga diduga melanggar sejumlah regulasi lingkungan dan kehutanan yang berlaku di Indonesia. Penggunaan alat berat di wilayah yang sebelumnya berstatus hutan lindung ini memicu kekhawatiran serius akan kehancuran sistem penyangga ekosistem dan potensi bencana ekologis yang akan langsung berdampak pada warga.
Sekretaris Lembaga Leuser Aceh (LLA), Abdiansyah, menyebutkan bahwa kegiatan eksplorasi tersebut telah melewati batas kewajaran dalam perlindungan lingkungan. Ia menegaskan bahwa legalitas formal seperti Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) yang diklaim dimiliki oleh perusahaan tidak dapat dijadikan tameng untuk merusak kawasan yang memiliki fungsi ekologis strategis. “Legal bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Kerusakan sudah nyata terlihat, masyarakat resah, dan pemerintah belum menunjukkan sikap tegas,” ujarnya.
Laporan yang dikumpulkan LLA di lapangan menunjukkan adanya pembukaan jalur baru, perusakan vegetasi hutan, gangguan terhadap sumber air, serta potensi hilangnya habitat satwa liar endemik. Lereng Tangsaran bukanlah wilayah biasa — ia adalah bagian dari zona penting hutan lindung yang dilindungi secara nasional dan menjadi penentu keseimbangan ekosistem di wilayah tengah Aceh.
Abdiansyah menyebut bahwa aktivitas PT GMR diduga melanggar setidaknya empat regulasi penting. Pertama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang melarang setiap orang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan tanpa izin sah dan prinsip kehati-hatian. Kedua, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang mengatur larangan melakukan kegiatan tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang layak serta menegaskan prinsip polluter pays.
Ketiga, Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan, yang menyebutkan bahwa perubahan fungsi kawasan harus didasarkan pada kajian ekologis, sosial, dan ekonomi yang mendalam. Namun, hingga kini, kajian tersebut tidak pernah dipublikasikan secara transparan ke publik. Keempat, Permen LHK No. P.27/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2018 tentang PPKH, yang menegaskan bahwa penggunaan kawasan hutan tidak boleh mengakibatkan kerusakan permanen dan tetap harus menjaga keberlanjutan fungsi hutan.
Abdiansyah juga menyoroti ironi hukum yang sangat mencolok. Di saat masyarakat adat atau petani lokal seringkali dikriminalisasi karena membuka lahan kecil untuk bercocok tanam, korporasi seperti PT GMR justru mendapat karpet merah untuk menggunakan alat berat dan merobek bentang alam hutan lindung secara legal. “Ini bukan sekadar ketimpangan perlakuan hukum. Ini bentuk pembiaran negara terhadap pelanggaran yang dilakukan pemilik modal,” tegasnya.
Ia menambahkan, eksplorasi tambang di kawasan yang dikenal rawan longsor tanpa mitigasi risiko yang jelas juga menunjukkan kelalaian fatal. “Setiap aktivitas di kawasan sensitif seperti ini tanpa rambu yang ketat berpotensi menghilangkan nyawa. Dan ketika nyawa hilang, siapa yang akan bertanggung jawab?” katanya.
LLA mendesak agar Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Gubernur Aceh segera turun tangan dan menghentikan seluruh aktivitas PT GMR sampai ada hasil audit lingkungan dan hukum yang independen. Mereka juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menelusuri kemungkinan adanya praktik kolusi dalam penerbitan izin PPKH dan pengabaian prinsip-prinsip kehati-hatian yang mestinya menjadi standar.
“Kita tidak boleh lagi bermain-main dengan masa depan lingkungan. Sekali kawasan ini rusak, dampaknya tak bisa dibalikkan. Tidak cukup sekadar minta klarifikasi. Aktivitas ini harus dihentikan sebelum terlambat,” tutup Abdiansyah.
Hingga berita ini diturunkan, tidak ada tanggapan resmi dari pihak PT Gayo Mineral Resource maupun Pemerintah Kabupaten Gayo Lues. Sementara itu, keresahan di tengah masyarakat terus meluas, dan kerusakan di lapangan kian nyata—menandai babak baru ancaman sistemik terhadap hutan lindung yang menjadi pertahanan alam terakhir bagi keberlangsungan hidup masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. (TIM)