Jakarta, Baranews – Indonesia bertekad memburu para pelaku penyelundupan orang, dan perdagangan manusia yang berperan dalam membawa para pengungsi Rohingya ke Aceh.
Upaya tersebut telah menjadi kewajiban Indonesia sebagai negara pihak Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional.
Demikian disampaikan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI, Lalu Muhamad Iqbal, melalui keterangan tertulisnya, Selasa (12/12/2023).
Iqbal menegaskan, terdapat dua tindak pidana yang mendorong arus pengungsi Rohingya ke Aceh, yakni penyelundupan orang dan perdagangan manusia.
“Jadi Indonesia sebagai pihak di dalam konvensi PBB mengenai kejahatan transnasional memiliki kewajiban internasional untuk mencegah dan ikut memberantas perdagangan manusia maupun penyelundupan orang,” kata Iqbal.
“Karena itu, Pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk mempersekusi para pelaku tindak pidana, baik tindak pidana penyelundupan manusia maupun perdagangan manusia yang terjadi di dalam pergerakan pengungsi Rohingya ke Aceh,” kata Iqbal.
Iqbal mengungkapkan, negara-negara pihak Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnasional memiliki kewajiban internasional mencegah dan mempersekusi pelaku tindak pidana penyelundupan orang maupun perdagangan manusia.
Iqbal menekankan, kewajiban tersebut tak hanya harus dipikul negara transit seperti Indonesia dalam konteks pengungsi Rohingya.
“Tapi juga berlaku kepada negara asal dan juga negara tujuan. Karena itu, kita mendorong semua negara pihak terkait konvensi PBB mengenai kejahatan lintas-batas untuk ikut menangani situasi ini,” ucapnya.
Selain itu, Iqb menyerukan negara-negara pihak dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi menunjukkan tanggung jawab lebih dalam penanganan krisis pengungsi Rohingya.
“Sebagai negara yang bukan pihak dalam Konvensi Pengungsi, Indonesia terus menyampaikan permohonan kepada negara-negara pihak (Konvensi Pengungsi) untuk menunjukkan tanggung jawab lebih besar dalam upaya menangani pengungsi Rohingya ini,” ujarnya.
Iqbal menyebutkan, terdapat negara-negara pihak Konvensi 1951 yang menolak kedatangan pengungsi Rohingya.
“Bahkan sebagian melakukan push back policy atau kebijakan menolak. Itu sebabnya, Indonesia sekali lagi meminta agar komunitas internasional dan negara-negara yang menjadi pihak di dalam Konvensi Pengungsi untuk menunjukkan tanggung jawab lebih dalam penanganan isu Rohingya ini,” ucapnya.
Dia mengungkapkan, saat ini Indonesia terus melakukan kerja sama dengan organisasi internasional, khususnya
“Semua opsi ada di dalam pembahasan kita. Tapi fokus kita tidak ke situ saat ini. Fokus kita adalah bagaimana menyelesaikan situasinya di Aceh,” katanya.
Dia menekankan kembali bahwa untuk menangani krisis pengungsi Rohingya, yang harus diatasi adalah akar masalahnya.
Pada Minggu (10/12/2023), sekitar 400 pengungsi Rohingya kembali mendarat di Aceh. Mereka berlayar menggunakan dua kapal dan mendarat di dua tempat berbeda, yakni Kabupaten Pidie dan Aceh Besar. UNHCR menyebut, sebelum datangnya kelompok pengungsi terbaru, sudah ada 1.200 Rohingya yang mendarat di Aceh sejak November 2023.
Kedatangan para pengungsi Rohingya sudah menghadapi penolakan dari warga Aceh. Masyarakat di sana mulai enggan menampung mereka. Indonesia bukan negara pihak dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi.
“Secara kumulatif sejak 14 November, jumlah kedatangan pengungsi adalah sekitar 1.200 orang di beberapa titik di Aceh, seperti Pidie, Bireuen, Aceh Timur, dan Sabang,” kata pejabat informasi publik (public information officer) UNHCR Indonesia, Mitra Salima Suryono, melalui keterangan tertulisnya, Minggu (10/12/2023).
Menurut UNHCR, Rohingya adalah kelompok etnis minoritas Muslim yang telah tinggal selama berabad-abad di Myanmar – negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha. (ip)