Gayo Lues– Keberangkatan rombongan jemaah haji asal Kabupaten Gayo Lues, Aceh, pada Rabu malam, 21 Mei 2025, menyuguhkan pemandangan yang berbeda. Di antara pakaian ihram serba putih yang menjadi simbol kesucian, tampak sehelai syal berwarna cerah tergantung di leher para jemaah. Syal itu adalah kerawang Gayo, kain tradisional yang sarat akan makna budaya, kini menyertai perjalanan spiritual mereka ke Tanah Suci.
Warna-warna terang seperti merah, hijau tosca, dan kuning membentuk pola geometris khas di atas latar kain hitam. Ada pula pola salur khas Aceh yang memperkaya tekstur visual syal tersebut. Kerawang Gayo bukan sekadar aksesori, melainkan warisan budaya masyarakat Gayo yang mencerminkan filosofi hidup, adat, dan nilai spiritual.
“Ini kerawang Gayo. Kerawang Aceh pun ada, kerawang Takengon pun kan ada, tapi ini beda,” kata Jawiriyah, seorang jemaah dari Blangkejeren. Ia mengaku syal tersebut diberikan oleh ketua rombongan. Namun, Abdul Kariman, Ketua Rombongan 10 Kloter BTJ 04, menjelaskan bahwa syal disediakan oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari tradisi tahunan.
Pemberian syal kerawang ini sudah menjadi kebiasaan rutin setiap musim haji. Selain menjadi penanda identitas daerah, syal ini juga berfungsi praktis. “Kalau dipakai kerawang Gayo ini, saya lebih mudah mengenali anggota rombongan,” ujar Abdul. Tahun-tahun sebelumnya, pemerintah daerah juga memberikan ciri khas serupa, seperti batik atau kain adat lainnya.
Kerawang Gayo dikenal luas sebagai bagian penting dari kebudayaan masyarakat Gayo. Wastra ini biasa dikenakan dalam upacara pernikahan dan kegiatan seni. Meskipun kini sebagian besar diproduksi dengan mesin, kerawang dulunya disulam secara manual dengan ketelitian tinggi. Motifnya tidak hanya berfungsi sebagai hiasan, tetapi juga mengandung filosofi yang diwariskan turun-temurun.
Setiap warna dalam kerawang Gayo mengandung arti: hitam melambangkan keputusan adat, merah menandakan keberanian dalam menegakkan kebenaran, hijau sebagai simbol kerja keras dan ketekunan, putih menggambarkan kesucian lahir dan batin, dan kuning menjadi lambang kehati-hatian dalam bertindak. Semua makna itu menjadikan syal kerawang sebagai simbol moral yang menyatu dengan nilai keagamaan.
Motif-motif kerawang seperti emun beriring, tapak seleman, tekukur, dan pucuk ni tuis menjadi bagian dari kekayaan visualnya. Warisan ini bahkan telah diakui secara nasional sebagai Warisan Budaya Tak Benda melalui Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 270/P/2014.
Penyematan kerawang Gayo kepada jemaah haji menjadi simbol kuat bahwa dalam setiap langkah spiritual, identitas budaya tidak ditinggalkan. Ia justru menyatu, menyampaikan pesan bahwa di balik kesucian ibadah, ada jejak kearifan lokal yang tetap melekat. Bagi para jemaah Gayo Lues, syal kerawang bukan hanya penghias tubuh, melainkan pengingat akan rumah, adat, dan warisan leluhur yang kini mereka bawa hingga ke Tanah Suci. (*)