Oleh: Turham AG, S. Ag., M. Pd
Dosen IAIN Takengon/Maestro Bahasa dan Budaya Gayo
Kute Reje Baranewsaceh.co – Jauh hari sebelum mulai/tiba waktu berume (bersawah) para petani sawah (si berume) di Gayo terutama Bener Meriah dan Aceh Tengah telah terbih dahulu melakukan persiapan-persiapan, diawali dengan kegiatan membersihkan tali air (rerak) agar perairan ke sawah mengalir dengan lancar nantinya. Kegiatan ini dinamakan mulimes atau murimes
Bagi desa-desa yang memakai kejurun blang, biasanya diiringi dengan keduri ulu nuwih (kenduri dan berdoa di hulu air) dengan maksud memohon kepada Allah agar pada musim tanam nantinya terhindar dari hama dan penyakit tanaman padi serta mendapat hasil yang melimpah
Mengingat pada musim berume kerbau dan kuda sangat banyak tentu akan mengganggu seme (bibit) dan sawah (ume) nantinya setelah ditanami (i tomang), maka harus i pegeri (pemagaran), terutama pada penyemen (tempat bibit).
Pagar dimaksud sangat memerlukan kayu bulat yang akan dipergunakan sebagai tiangnya (tersik), mencari kayu tersebut dalam bahasa Gayo dikatakan betersik, adapun bagian pagar yang melintang biasanya dipakai kawat berduri bagi yang memiliki. Bagi yang tidak punya kawat berduri biasanya menggunakan uluh (bambu) yang dibelah sebagai belide (balok horizontal). Kegiatan mencari bambu inilah dinamakan beruluh yang akan dipergunakan untuk penyemen dan ume nantinya
Setelah perlengkapan pagar dirasa cukup mulailah membuat tempat penyemaian bibit (nos penyemen) dan selanjutnya menyemai bibit (nyuk seme/inih). Padi yang akan dipergunakan untuk bibit adalah padi yang dipersipkan dan dipilih dari padi yang paling baik serta (sibelangi) sebelumnya telah direndam (i renem) agar cepat tumbuhnya (tir morepe).
Sambil menunggu bibit tumbuh sampai bisa ditanam (seme nguk i tomang), mulai melanjutkan pekerjaan mumelah, yaitu mencangkul tanah sawah menggunakan cangkul secara manual atau menggunakan nengel yaitu alat pembajak yang ditarik oleh kuda.
Tanah yang telah dibajak/dicangkul dan telah dialiri air dibiarkan begitu saja agar tanah tersebut menjadi ledak (lembek) sehingga mudah mengerjakan nanti saat mudue. Pembiaran ini tidak terlalu lama, kira-kira sampai usia seme (bibit) hampir bisa ditanami (i tomang),
Apabila sawah yang dibajak menggunakan kuda (i nengel), maka harus ditambah pekerjaan ekstra disebut ngaki/mungaki, yaitu mencangkul sagi (sudut) tempeh (petak) sawah yang tidak terjangkau nengel atau karena ble (yang tidak terkena bajak)
Pekerjaan selanjutnya adalah mencangkul kembali maupun menggunakan nengel tanah yang telah dialiri air tadi dengan maksud agar tanah tersebut menjadi lembek dan tidak bergumpal (cak/mukokol). Inilah dinamakan mudue dalam berume (bersawah)
Selanjutnya dilakukan pembersihan pematang sawah (patal), hal ini dinamakan munerlis. Setelah dibersihkan patal tersebut dilanjutkan dengan
menutupi lubang tikus pada pada patal melalui penambahan tanah yang halus termasuk di atas pematangnya, pekerjaan inilah yang dinamakan mumatal.
Sementara kaum bapak dan anak laki-laki (bebujang) mumatal, kaum ibu dan anak perempuan (beberu) mencabut bibit yang telah siap ditanami (i tomang). Pekerjaan ini dinamakan mujergut seme
Sebelum munomang (menanam), tanah harus dibuat lebih ledak, agar tidak susah pumu (tangan) ketika nomang, untuk itu ada yang melakukan dengan kerbau dalam jumlah banyak disuruh berjalan pada tempeh, setelah ledak pindah ke tempeh lain. Proses ini disebut mungoro atau munor
Proses selanjutnya adalah meratakan tanah yang sudah ledak biasanya terdapat beberapa gundukan (mubuntul-buntul) akibat injakan kerbau yang tidak rata, proses ini dinamakan nyeras. Ceras adalah bajak yang ditarik kuda, namun mata bajaknya berbentuk jari-jari.
Setelah selesai nyeras, dilanjutkan dengan mumerjak, yaitu menginjak-injak tanah yang akan ditanami dengan kaki, hal ini maksudkan apabila proses ceras tidak merata dan masih terdapat gumpalan (kokol) tanah yang belum pecah dapat dipecahkan dengan kaki.
Agar permukaan tanah tidak terjadi tinggi rendah atau bergelombang (mugelumang) dilakukan proses nyerde, yaitu menolak tanoh ledak dari yang tinggi pada yang rendah dengan alat dinamakan serde, yaitu semacam cangkul, namun ujungnya terbuat dari papan. Selesai nyerde, lahan siap ditanami (i tomang)
Sebelum nomang, tentu seme (bibit) padi harus diantar pada tiap tempeh untuk memudahkan bagi yang nomang, proses ini dinamakan mujule/nunyak seme seme.
Setelah seme sedia pada tiap-tiap tempeh baru dimulai menanam (nomang) yang lazim didaerah Gayo dilakukan oleh kaum ibu dan beberu baik sendiri atau bersama-sama (bejamu)
Lebih kurang satu bulan mari mu nomang (selesai menanam) tentu rumput telah mulai tumbuh, lalu dilakukan pembersihan. Ada dua kegiatan dalam hal ini pertama mulamut membersihkan rumput pada sawah, kedua nebes patal yaitu membersihkan/memotong rumput pada pematang sawah. Kegiatan mulamut dan nebes patal terkadang bisa dilakukan sampai dua kali tergantung dari panjangnya rumput sampai seroh (sudah mulai berbuah).
Ketika rom (padi) sudah mulai ampar (menguning) terus dilakukan mumiyo yaitu menjaga burung (mujenge manuk), biasanya manuk tumpit (burung pipit) agar tidak memakan rom sitengah ampar sampai siap iyuling (dipotong).
Mumiyo biasa dilakukan dengan membuat orang-orangan (tetakut) ditengah sawah, atau meregangkan tali yang membuat bunyi sehingga burung merasa takut. Bahkan ada yang melakukan dengan cara menangkap burung tersebut dengan memasang getah pada batang sange (ping-ping), lalu dipancing atau dipanggil dengan bunyian yang menyerupai suara manuk tumpit melalui alat yang dibuat pelu.
Kegiatan menangkap burung ini dinamakan meneritit, neritit tersebut juga sebagai suatu agenda mengisi kejenuhan dalam memiyo.
Selaras dengan menuanya padi pertanda sudah waktunya panen karena padi telah siap iyuling (dipitong), maka perlu mempersiapkan gubug untuk tempat padi yang sudah dipotong ini dinamakan nos seladang.
Sementara itu, para ibu-ibu maupun beberu (anak gadis) terus munoleng (memotong) padi, para kaum bapak dan bebujang terus mengangkat raden (buah padi yang sudah dipotong) dibawa dan disusun secara teratur ke seladang menggunakan belat (alat pengangkut raden terbuat dari karung atau goni yang sudah dibelah), dipinggirnya ada kekawit (pengawit pengganti ikatan), kegiatan inilah dinamakan mubinuh
Jika semua padi yang telah diuling dan dibinuh ke seladang baru dilakukan penggirikan (mujik) melalui kelompok mujik yang berjumlah 5-10 orang atau lebih. Proses mujik dimulai dengan mugerbol (penggirikan pertama, selanjutnya mulumet (menggirik sampai habis buah padinya), sampah bekas penggirikan yang sudah habis buahnya (jempung) tadi kembali dilakukan pembersihan dengan istilah munejes.
Butir padi yang telah dirontokan, dikumpulkan seluruhnya ke dalam seladang untuk dilakukan pemisahan dengan butir padi yang kosong (ampa) dengan cara i angin, yaitu seorang naik ke atas benyang (bambu yang sengaja dibuat tiga kaki dan ditarok papan ditengahnya, lalu ditungkan sedikit demi sedikit ke bawah sehingga terpisah antara yang padi kosong dan berisi karena ditiup angin
Kurang betamah lebih beruet
Kute Reje, 3 Juni 2024