Opini oleh : Sri Rajasa, M.BA
SAFRIZAL ZA telah melakukan mall praktek dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai PJ Gubernur Aceh, terkait dengan menggelar seleksi Kepala BPMA melalui panitia seleksi BPMA. PJ Gubernur Aceh secara kasat mata melanggar Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2015 yang mengamanatkan, seleksi calon Kepala BPMA merupakan kewenangan Gubernur Aceh yang dipilih melalui proses demokratis.
Pj Gubernur Aceh telah bertindak di luar kewenangannya, karena tidak dipilih melalui proses demokrasi. Oleh karenanya keputusan penetapan kepala BPMA, patut dinyatakan cacat hukum, sebab tidak didasari aspek legalitas.
Disisi lain masa jabatan PJ Gubernur Aceh tinggal menghitung hari, lantas apa urgensinya PJ Gubernur Aceh menggelar seleksi calon kepala BPMA, mengingat Kepala BPMA saat itu, Teuku Muhammad Faisal, masih memiliki sisa masa jabatan satu tahun setelah diperpanjang oleh Menteri ESDM hingga 25 November 2025.
Kebijakan Pj Gubernur Aceh tersebut, patut diduga ada niat terselubung untuk mengeksploitasi BPMA, sebagai badan pengelola migas Aceh yang selama ini prestasinya hanya menggelar karpet merah bagi oligarki tambang.
Terlebih lagi penerbitan SK kepala BPMA yang dikeluarkan oleh Menteri ESDM, ditengarai ada kongkalikong pihak-pihak tertentu yang berlindung dibalik bendera partai dan antek-antek oligarki tambang. Sejauh ini kehadiran BPMA di Aceh, alih-alih mengayomi usaha rakyat Aceh disektor pertambangan minyak yang kerapkali menjadi sapi perahan oknum aparat hukum, justru lebih terlihat sebagai kacung para investor kakap.
Disinyalir ada oknum BPMA yang membiarkan usaha tambang minyak rakyat tetap illegal, karena oknum BPMA memperoleh rente dari usaha rakyat tersebut.
Jika keberadaan BPMA tidak membawa perubahan bagi kesejahteraan rakyat Aceh, tapi semata-mata hanya perpanjangan tangan oligarki tambang dan pemerintah pusat, seyogyanya perlu dipertimbangkan untuk dibekukan sementara waktu operasional BPMA.
Penulis adalah Pemerhati Sosial Ekonomi Aceh