Penulis: Desi Nofianti, S.Pd (Pemerhati Pendidikan)
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Penajam Paser Utara (PPU) tengah memperkuat peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai elemen kunci dalam pengawasan pemerintahan desa. Melalui pelatihan dan bimbingan teknis (Bimtek), seluruh anggota BPD dibekali kemampuan untuk mengawasi jalannya pembangunan di tingkat desa secara lebih profesional. Hal itu disampaikan Wakil Bupati PPU, Abdul Waris Muin, saat dimintai keterangan terkait peran BPD, Jumat, 13 Juni 2025. Menurutnya, pemanfaatan dana desa harus benar-benar diawasi agar hasilnya bisa dinikmati seluruh masyarakat. “Setiap desa dapat dana desa dari pemerintah, yang dipergunakan untuk melaksanakan pembangunan di segala bidang.”
Ada beberapa hal yang mesti dikritisi dalam hal ini. Kita mesti mengapresiasi bagaimana pemerintah mengontrol BPD yang mana melihat masifnya penyelewengan dan kasus korupsi dana desa. Akan tetapi jika kita mau menilik sumber permasalahannya, bukan hanya karena minimnya pengawasan, tetapi lebih kepada dasar dari pengaturan desa yang menjadi penyebab munculnya permasalahan saat ini. Yakni, penerapan ideologi kapitalisme sekuler menjadikan pengelolaan desa lebih kepada mengikuti program pesanan internasional. Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan agenda internasional yang disepakati anggota PPB pada 2015. Di Indonesia, 17 tujuan SDGs global diterjemahkan dan diterapkan dari level pusat hingga perangkat desa. Dari sini lahirlah Kementerian Desa, SDGs Desa, dan dana desa. SDGs global maupun SDGs Desa tidak jauh berbeda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), desa adalah yang mampu memenuhi kebutuhan dan mengelola segala urusannya sendiri tanpa terlalu bergantung pada pihak lain. Artinya, di sini desa disuruh menggali potensi yang ada agar tidak bergantung pada pusat. Bimtek sebenarnya diperlukan agar program lancar. Namun, Bimtek butuh biaya yang harusnya diback-up negara sepenuhnya, bukan berlepas tangan atau tergantung utang sehingga tidak mandiri karena diarahkan.
Jika ingin menjadikan desa mandiri, harus dilakukan perubahan sistem dan pengelolaan desa yang sentralisasi bebas dan bebas dari intervensi asing. Pembangunan dalam Islam adalah bentuk keimanan dan ketakwaan seorang pemimpin terhadap rakyatnya, dan rakyat juga mencintai pemimpin dikarenakan keimanan, sehingga tak terpisah akibat penerapan ideologi kapitalisme. Di mana mampu menyejahterakan rakyatnya secara merata, baik di desa dan di kota, tanpa menghilangkan ciri khas yang melekat pada ruang hidup masyarakat kota dan desa.
Adapun mekanismenya sebagai berikut.
Pertama, paradigma pembangunannya adalah pelayanan oleh penguasa kepada rakyatnya, bukan dalam konsep transaksi jual beli seperti yang ada pada sistem kapitalisme. Hal ini karena negara memiliki kewajiban untuk menjamin seluruh kebutuhan rakyatnya mulai dari sandang, pangan, dan papan, serta pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Inilah yang semestinya menjadi standar jaminan pemerataan pembangunan di kota dan desa, sebab setiap warga memiliki hak yang sama yaitu mendapatkan fasilitas hidup layak.
Selain itu, pembangunan desa akan mandiri tanpa intervensi pihak luar, baik melalui skema investasi ataupun utang luar negeri. Kekuatan baitulmal akan meniscayakan hal tersebut. Hal ini pulalah yang menjadi jaminan pembangunan di desa, yakni berfokus pada kemaslahatan umat, bukan kepentingan korporasi. Dengan begitu, jembatan reyot maupun jalanan rusak akan sangat diperhatikan oleh negara.
Kedua, pembangunannya bersifat sentralistik, yaitu seluruhnya dalam pantauan pemerintah pusat. Hal ini bertujuan agar pemerintah pusat mengetahui segala sesuatu yang menjadi kebutuhan suatu daerah dan yang menjadi surplus daerah tersebut. Sebagai contoh, saat paceklik terjadi di suatu wilayah, pemerintah pusat akan turut sigap mencari daerah yang surplus untuk memenuhi kebutuhan wilayah yang sedang paceklik.
Dengan begitu, pembangunan desa tidaklah dinilai berdasarkan nominal pendapatan daerahnya, melainkan sesuai dengan kebutuhan rakyat di dalamnya. Bagi desa yang pendapatan daerahnya minim tersebab SDA-nya sedikit, maka negara akan menyuntik dana yang cukup untuk kebutuhannya. Begitu pula dengan wilayah yang surplus karena ada banyak SDA di sana, maka negara akan memberikan sebagian pendapatannya kepada wilayah yang kekurangan. Inilah gambaran pemerataan pembangunan pada desa dan kota.
Ketiga, negara sangat memperhatikan karakteristik desa dan kota yang memiliki ruang hidup yang berbeda. Desa adalah tempat dengan lahan yang luas sehingga pertanian, perkebunan, juga perikanan sangat cocok dikembangkan di sini. Peningkatan produktivitas pertanian akan menambah insentif para petani sehingga bisa meningkatkan taraf hidup rakyat perdesaan.
Oleh karena itu, untuk mengentaskan warga perdesaan dari kemiskinan bisa dengan mengoptimalkan produksi pertanian dengan pemberian subsidi terhadap saprotan atau pemberian lahan kepada rakyat yang tidak memiliki lahan untuk bertani. Pemerintah juga harus memperhatikan rantai pasok sehingga produk pertanian bisa diserap pasar dengan baik. Dengan ini, tidak harus dibangun sektor pariwisata di desa yang justru bisa mengganggu produktivitas pertanian. Selanjutnya, tingginya produktivitas pertanian akan mengantarkan pada kedaulatan pangan.
Keempat, baitulmal akan menopang seluruh pembangunan baik di desa dan kota. Sebab pemasukan baitulmal begitu melimpah, khususnya pada pos kepemilikan umum. Haramnya penguasaan dan pengelolaan SDA melimpah oleh swasta menjadikan negara mandiri dalam mengelola SDA-nya. Dari sini akan didapat keuntungan yang besar untuk bisa dikembalikan kepada umat dalam bentuk fasilitas atau barang siap konsumsi.
Kelima, penguasa yang amanah akan menjadikan seluruh program berjalan dengan baik. Pejabat pusat dan daerah bahu-membahu memberikan kinerja terbaik bagi rakyatnya, bukan saling mencari celah untuk memperkaya diri sendiri. Walhasil, kehidupan rakyat akan sejahtera, baik di kota maupun di desa.
Pada akhirnya, urbanisasi tidak akan terjadi secara besar-besaran di dalam tata kelola negara Islam karena di wilayah mana pun, rakyat akan menemukan kesejahteraannya. Hidup di kota ataupun di desa adalah pilihan bagi setiap rakyat tanpa melihat salah satunya lebih unggul menurut paradigma komoditas ekonomi.
Keenam, terbukanya jalur komunikasi antara rakyat dan penguasa agar ketika terjadi kelalaian penguasa dalam memenuhi hak rakyatnya, mereka bisa menyampaikan aspirasinya baik langsung secara individu ataupun dengan peran partai politik, Majelis Umat, dan Mahkamah Mazhalim. Empat perangkat inilah yang berperan melakukan muhasabah lil hukam (mengoreksi penguasa). Jalur komunikasi yang baik dan tingginya kepedulian umat ini akan menihilkan celah korupsi sebab oknum pejabat yang berwatak koruptor sudah terdeteksi sejak dini.