Jakarta, Baranews – Ketika palu hakim diketukkan di ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat, Jumat sore, 25 Juli 2025, wajah Hasto Kristiyanto tak gentar. Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan itu dijatuhi vonis tiga tahun enam bulan penjara dan denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan karena terbukti menerima suap dalam perkara yang menyeret nama buron paling misterius Komisi Pemberantasan Korupsi: Harun Masiku.
Putusan itu seolah mengunci kisah panjang yang sudah berhembus sejak awal tahun 2020. Namun, di mata Hasto, vonis itu bukan ujung dari perkara hukum, melainkan babak baru dalam pertarungan yang lebih besar: menggugat keadilan yang menurutnya telah dibajak oleh kekuasaan.
“Saya menerima putusan ini dalam konteks bahwa ini adalah ketidakadilan. Tema menggugat keadilan akan selalu relevan,” kata Hasto, mantap, dalam konferensi pers seusai sidang.
Ia menuding proses hukum yang dijalaninya sebagai rekayasa politik. Bukan sekali dua kali. Nama Harun Masiku sudah disebut-sebut dalam pusaran dugaan suap terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) lima tahun silam. Tapi dalam proses hukum yang telah inkrah lewat Putusan Nomor 18 dan 28 Tahun 2020, tak ada sepotong pun bukti yang menunjukkan keterlibatan Hasto. Kini, dalam putusan yang dibacakan pada Jumat sore itu, tudingan lama yang dianggap sudah mati dihidupkan kembali. Seperti mayat politik yang disulap menjadi zombie hukum.
Putusan hakim memang menyisakan banyak lubang. Dalam perkara obstruction of justice, Hasto dinyatakan bebas. Majelis hakim menilai bahwa ia tidak menghalangi penyidikan. Pasal 21 Undang-Undang Tipikor dinyatakan tidak terpenuhi.
“Ini jadi preseden penting. Majelis hakim mengakui bahwa obstruction of justice adalah delik materiil. Artinya, harus ada akibat nyata. Kalau tidak, tak bisa dihukum,” kata Febri Diansyah, mantan juru bicara KPK yang kini menjadi salah satu pengacara Hasto.
Namun pada saat bersamaan, dalam dakwaan suap, hakim menjatuhkan vonis. Logika hukum yang sebelumnya terbangun dalam pembelaan tiba-tiba runtuh. Hasto disebut terbukti terlibat dalam skema sogokan Harun Masiku untuk membeli kursi legislatif lewat celah pergantian antarwaktu di KPU.
“Ini seperti menegakkan benang basah. Ini bukan penegakan hukum, ini peradilan pesanan,” ujar Todung Mulya Lubis, salah satu anggota tim penasihat hukum.
Dalam putusan tersebut, hakim menyebut adanya bukti baru: percakapan singkat di WhatsApp antara Hasto dan Saiful Bahri. Kalimatnya ringkas: “Pak Harun geser 850” dan “Siap.” Percakapan itu ditafsirkan sebagai pengesahan dari Hasto terhadap manuver politik Harun Masiku. Tapi tim hukum bersikeras bahwa bukti itu sudah pernah diungkap dalam sidang-sidang terdahulu. Bukan temuan baru. Bukan juga landasan hukum yang cukup untuk menyimpulkan terjadinya suap.
“Ini bukan retrial, ini rekonstruksi liar yang dipaksakan. Fakta dan bukti dipelintir untuk menjatuhkan seseorang,” ucap Makdir Ismail, pengacara lainnya.
Hasto tak berdiri sendiri. Di belakangnya, barisan kuasa hukum, kader partai, dan simpatisan politik berdiri rapat. Mereka menyebut kasus ini sarat kepentingan menjelang agenda besar partai: Kongres PDI Perjuangan. Isu tentang gangguan terhadap konsolidasi internal sudah bergema sejak awal. Bagi Hasto, vonis ini bukan soal dirinya semata, melainkan upaya sistematis untuk mencederai partai.
“Sejak Januari 2020, ketika OTT terjadi, ada motif politik. Headline di salah satu majalah menulisnya sebagai ‘operasi yang gagal’ karena saya yang jadi target,” kata Hasto.
Ia bahkan mengaku sudah “memprediksi” vonis yang akan dijatuhkan sejak April lalu. Maka, sebagai bentuk perlawanan, ia mengambil langkah mengejutkan: mendaftar kuliah hukum. “Saya sudah diterima sebagai mahasiswa S1 hukum. Karena saya tahu, jalan keadilan ini panjang. Dan saya harus melaluinya dengan kepala tegak,” ujar Hasto.
Selama lebih dari setengah jam konferensi pers, satu demi satu pengacara Hasto membedah putusan dengan nada muram. Mereka mengulas sembilan cacat dalam putusan hakim: mulai dari status hukum Pasal 21 yang ditarik ke tahap penyelidikan secara tidak sah, hingga tuduhan suap yang tidak didukung fakta baru. Mereka juga menyoroti ketidakkonsistenan hakim yang di satu sisi menyebut tindakan Hasto legal sebagai pejabat partai, tapi di sisi lain memvonisnya atas tindakan bawahannya yang justru mengaku bertindak sendiri.
“Bahkan komunikasi WhatsApp antara Saiful dan Doni dibuat seolah-olah itu perintah dari Hasto. Padahal dalam persidangan, Saiful sendiri mengaku semua uang dari Harun Masiku, semua inisiatif dari dirinya sendiri,” ujar pengacara Rony Talapessy.
Poin penting lainnya adalah soal pembelokan fakta. Dana penghijauan yang secara resmi digunakan partai, tiba-tiba dikaitkan dengan suap. Dan angka-angka dana pun berubah tanpa dasar. “Dari Rp750 juta tiba-tiba disulap menjadi Rp400 juta,” kata Hasto, menuding jaksa melakukan “otak atik gatuk”.
Tak sedikit yang menyamakan kasus ini dengan tragedi hukum terhadap tokoh lain yang belakangan juga bersuara lantang: Thomas Lembong. Hasto bahkan menyebut namanya di tengah pidato, sebagai bentuk solidaritas terhadap mereka yang dinilai menjadi korban pembungkaman oleh sistem.
“Ini bukan soal kalah atau menang dalam perkara. Ini soal bagaimana hukum dipakai sebagai alat kekuasaan. Sama seperti yang dialami Tom Lembong,” ujar Hasto.
Dan seperti para aktivis hukum yang menjelma pembela keadilan, Hasto berikrar akan menempuh jalan serupa. Ia menyebut nama-nama seperti Febri Diansyah, Makdir Ismail, hingga Profesor Todung sebagai panutan. Di hadapan pers, ia menjanjikan akan memakai setiap detik hidupnya untuk memperjuangkan apa yang ia sebut sebagai “keadilan untuk wong cilik.”
“Dengan kepala tegak, kita lawan ketidakadilan. Maju tak gentar,” ujar Hasto di akhir pidato.
Apakah ini bagian dari manuver politik, pembalasan personal, atau betul-betul perjuangan ideologis terhadap hukum yang pincang—masih akan terjawab di lembar-lembar banding berikutnya. Tapi satu hal yang pasti, Hasto Kristiyanto sedang bertaruh besar: menjadikan dirinya bukan sekadar terdakwa, melainkan simbol gugatan terhadap sistem hukum yang, menurutnya, telah kehilangan nurani. (Red)