Banda Aceh — Sengketa empat pulau yang kini menjadi perbincangan hangat antara Aceh dan Sumatera Utara terus bergulir dengan tensi yang meningkat. Gubernur Aceh, Muzakir Manaf atau akrab disapa Mualem, menegaskan sikapnya yang tidak akan membuka ruang kompromi terkait kepemilikan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang. Ia menyatakan bahwa keempat pulau tersebut merupakan bagian dari Aceh sejak lama dan bukan untuk dinegosiasikan apalagi dikelola bersama dengan pihak lain.
Pernyataan tegas itu disampaikan Mualem dalam pertemuan tertutup yang berlangsung di Rumah Dinas Gubernur Aceh, Banda Aceh, pada Jumat malam (13/6/2025). Dalam forum tersebut, hadir pula sejumlah tokoh penting seperti anggota Forum Bersama DPR/DPD RI asal Aceh, DPR Aceh, rektor-rektor perguruan tinggi, serta perwakilan masyarakat sipil.
“Kami menolak usulan Gubernur Sumatera Utara untuk mengelola empat pulau itu secara bersama. Itu bukan tawaran yang layak dibahas. Keempat pulau itu milik Aceh, secara historis, administratif, dan geografis. Maka dari itu, fokus kami adalah mempertahankannya,” tegas Mualem dalam konferensi pers usai pertemuan tersebut.
Menurutnya, Pemerintah Aceh akan menempuh tiga pendekatan dalam upaya mempertahankan hak wilayah ini, yaitu pendekatan kekeluargaan, pendekatan administrasi, dan pendekatan politik. Mualem menyatakan akan menghadap Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 18 Juni mendatang untuk menyampaikan langsung keberatan resmi dan bukti-bukti historis serta yuridis yang memperkuat klaim Aceh atas empat pulau tersebut.
“Kami telah mengirim surat resmi kepada Mendagri. Sekarang waktunya bertemu langsung dan membawa semua dokumen pendukung, termasuk peta kolonial Belanda, peta TNI AD tahun 1978, hingga UU Nomor 14 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Aceh Singkil. Semua menyebutkan bahwa empat pulau itu adalah bagian dari Aceh,” ungkap Mualem.
Gubernur yang juga mantan Panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu menyatakan bahwa jika langkah pendekatan kepada Mendagri tidak membuahkan hasil, ia siap membawa permasalahan ini langsung ke Presiden Prabowo Subianto.
“Kami percaya Presiden akan bijaksana. Presiden tahu bagaimana pentingnya menjaga keistimewaan Aceh dan konsistensi terhadap perjanjian damai yang telah kita sepakati di Helsinki,” tambahnya, merujuk pada MoU Helsinki tahun 2005 antara RI dan GAM.
Sikap Mualem diamini oleh Ketua Forum Bersama DPR/DPD RI asal Aceh, Teuku Abdul Khalid. Ia menolak usulan agar Aceh membawa perkara ini ke pengadilan tata usaha negara (PTUN) seperti yang disarankan oleh Mendagri. “Ngapain ke PTUN? Itu wilayah kami kok. Sejak dulu sudah begitu. Tidak ada alasan untuk menggugat hak sendiri,” ucapnya.
Khalid menekankan bahwa seluruh pemangku kepentingan di Aceh, baik legislatif maupun eksekutif, sepakat tidak menerima tawaran kompromi atau alternatif dari pemerintah pusat selain pengembalian hak Aceh atas empat pulau tersebut.
Sementara itu, anggota DPD RI asal Aceh, Azhari Cage, dengan lantang menyebut bahwa keputusan Mendagri adalah bentuk perampasan wilayah Aceh. Ia menyatakan bahwa tidak pernah ada pemberitahuan resmi kepada Pemerintah Aceh sebelum SK Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 diterbitkan pada 25 April lalu.
“Surat itu dikeluarkan secara sepihak dan sangat merugikan Aceh. Itu yang memicu keresahan dan potensi konflik horizontal di masyarakat,” ujarnya.
Menurut Azhari, bukti administratif seperti peta, surat agraria tahun 1965, RTRW Aceh Singkil, dan bangunan fisik yang dibangun Pemerintah Aceh di empat pulau tersebut menjadi dasar kuat bahwa wilayah itu adalah milik Aceh.
Bupati Aceh Singkil, Safriadi Manik, juga menegaskan bahwa masyarakat di wilayah pesisir sangat terusik oleh keputusan tersebut. “Mereka merasa seperti kehilangan tanah airnya. Sejumlah nelayan bahkan sudah mulai menjaga dan mengawasi langsung wilayah empat pulau itu,” katanya.
Safriadi juga menyayangkan tidak adanya konsultasi atau musyawarah sebelum SK itu dikeluarkan. Ia menyebut bahwa dalam RTRW Aceh Singkil, keempat pulau tersebut memang masuk dalam wilayah kelola Aceh. “Kami punya aset, pelabuhan, tugu, bahkan rumah ibadah di sana. Apa itu tidak cukup sebagai bukti keterikatan wilayah dan masyarakat?” tanyanya.
Pemerintah Aceh, kata Mualem, berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cara damai. Namun, jika jalur damai dan kekeluargaan tidak membuahkan hasil, maka pendekatan politik dan diplomasi tingkat tinggi akan ditempuh.
“Kami akan tempuh seluruh cara sesuai aturan dan martabat Aceh. Tapi kalau tetap diabaikan, langkah politik tidak bisa dihindari,” ujar Mualem.
Dalam waktu dekat, seluruh dokumen dan bukti sejarah akan dikompilasikan dalam satu naskah resmi yang akan menjadi materi saat bertemu Mendagri. Pemerintah Aceh berharap pemerintah pusat menunjukkan itikad baik dan menghormati prinsip keadilan serta komitmen perdamaian yang sudah dibangun selama dua dekade terakhir.
“Kami tidak minta lebih. Kami hanya minta yang memang hak kami. Empat pulau itu milik Aceh dan akan tetap menjadi bagian dari Aceh,” tutup Mualem dengan nada tegas. (*)