Jakarta — Kejaksaan Agung Republik Indonesia terus memperkuat penyidikan dugaan korupsi dalam pengadaan laptop dan perangkat teknologi informasi komunikasi (TIK) yang diperuntukkan bagi pelajar di seluruh Indonesia. Proyek besar yang berlangsung sejak 2019 hingga 2023 ini memiliki nilai anggaran mencapai hampir Rp10 triliun, yang berasal dari Dana Satuan Pendidikan (DSP) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa penyidikan sedang berjalan secara intensif. Tim penyidik Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) telah memeriksa berbagai saksi, termasuk ahli serta pejabat dan staf yang berperan dalam proses pengadaan barang dan jasa di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Bahkan, penggeledahan telah dilakukan di kediaman dua mantan staf khusus menteri yang diduga terlibat, sebagai upaya untuk mengumpulkan alat bukti yang memperkuat dugaan korupsi.
“Penyidikan ini kami lakukan demi mengungkap fakta hukum terkait dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan negara. Kami sedang mengumpulkan alat bukti yang komprehensif agar kasus ini bisa terang benderang,” ujar Harli Siregar dalam keterangannya kepada wartawan, Selasa (27/5/2025).
Salah satu titik sorotan dalam penyidikan ini adalah potensi pemanggilan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim. Nama mantan menteri ini muncul sebagai saksi potensial yang bisa memberikan keterangan penting terkait proses pengambilan keputusan dalam pengadaan laptop berbasis Chromebook tersebut. Meski demikian, Harli menegaskan bahwa hingga saat ini belum ada penetapan tersangka.
“Status perkara masih dalam proses penyidikan. Kami belum menentukan siapa tersangkanya, termasuk mantan menteri. Semua masih kami dalami secara objektif,” ujarnya.
Kasus ini bermula pada tahun 2020 ketika Kemendikbudristek menyusun rencana pengadaan bantuan peralatan TIK untuk satuan pendidikan di seluruh Indonesia, dari tingkat dasar sampai menengah atas. Program ini adalah bagian dari implementasi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), sebuah sistem evaluasi nasional yang mengukur kemampuan dasar pelajar dalam membaca dan matematika melalui sarana digital.
Namun, uji coba yang pernah dilakukan pada 2018-2019 dengan menggunakan 1.000 unit Chromebook ternyata menemui kendala serius. Masalah utama terletak pada jaringan internet yang belum merata dan kuat di banyak daerah, sehingga penggunaan perangkat berbasis Chrome OS ini dinilai kurang efektif untuk menunjang pelaksanaan asesmen dan kegiatan belajar-mengajar.
“Kondisi jaringan internet di Indonesia yang belum merata menjadi faktor utama kegagalan uji coba Chromebook. Hal ini menyebabkan penggunaannya kurang optimal, terutama di daerah-daerah dengan koneksi yang lemah,” jelas Harli.
Berdasarkan pengalaman tersebut, tim teknis yang menangani pengadaan awalnya menyusun kajian teknis yang merekomendasikan penggunaan perangkat dengan sistem operasi Windows, yang dianggap lebih kompatibel dengan kondisi infrastruktur dan kebutuhan satuan pendidikan. Kajian tersebut seharusnya menjadi dasar dalam pengadaan.
Namun, Kemendikbudristek justru mengeluarkan kajian baru yang menggantikan rekomendasi pertama dengan spesifikasi berbasis sistem operasi Chrome OS. Perubahan ini menimbulkan kecurigaan adanya pemufakatan jahat, terutama karena tidak didasarkan pada kajian kebutuhan teknis yang objektif dan sesuai dengan kondisi di lapangan.
Dari sisi anggaran, pengadaan TIK ini menggunakan dana negara yang sangat besar, yakni total Rp9.982.485.541.000 selama periode 2019-2022. Anggaran tersebut terbagi dalam dua sumber utama, yaitu Dana Satuan Pendidikan (DSP) sebesar Rp3.582.607.852.000 dan Dana Alokasi Khusus (DAK) sekitar Rp6.399.877.689.000. Nilai anggaran yang hampir menyentuh angka Rp10 triliun ini mencerminkan skala besar program yang seharusnya berdampak positif bagi kualitas pendidikan nasional.
Namun, indikasi penyimpangan yang ditemukan dalam proses pengadaan perangkat ini sangat disayangkan karena berpotensi merugikan keuangan negara dan menurunkan efektivitas program digitalisasi pendidikan yang tengah digalakkan pemerintah.
Kejaksaan Agung terus mendalami jalur aliran dana dan mencari para aktor yang diduga terlibat dalam pemufakatan tersebut. Penyidikan ini diharapkan bisa memberikan kejelasan mengenai siapa saja yang bertanggung jawab dan bagaimana mekanisme dugaan korupsi ini terjadi.
“Kami berkomitmen untuk menindak tegas siapapun yang terlibat dalam korupsi ini agar tidak ada ruang bagi penyalahgunaan dana publik, terutama dana yang diperuntukkan bagi pendidikan,” tegas Harli.
Kasus ini menjadi perhatian luas masyarakat dan kalangan pendidikan, mengingat pentingnya pengadaan teknologi sebagai sarana belajar yang memadai di era digital saat ini. Publik berharap agar proses penyidikan berjalan transparan dan adil, sekaligus menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki tata kelola pengadaan barang dan jasa agar lebih akuntabel.
Pemerintah sendiri sudah menargetkan transformasi digital dalam pendidikan sebagai prioritas strategis guna meningkatkan kualitas dan pemerataan akses pendidikan di seluruh Indonesia. Namun, skandal korupsi sebesar ini tentu akan menghambat pencapaian tujuan tersebut.
Dengan demikian, proses penyidikan yang sedang berjalan di Kejaksaan Agung menjadi kunci penting untuk memastikan bahwa dana publik dapat digunakan secara tepat sasaran dan efektif demi kemajuan pendidikan nasional. (*)