Jakarta — Indonesia diguncang skandal pangan terbesar sepanjang sejarah. Kementerian Pertanian secara resmi mengungkap praktik pemalsuan beras secara massal oleh 212 merek yang terbukti melakukan pengoplosan dan pelanggaran mutu. Temuan ini menjadi tamparan keras bagi sistem pengawasan pangan nasional yang terbukti rapuh, serta menjadi simbol kejahatan ekonomi yang tak hanya mencederai konsumen, tapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap label mutu beras yang selama ini dijual bebas di pasaran.
Pengumuman ini disampaikan langsung oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam konferensi pers yang mengejutkan publik. Dari 268 merek yang diuji, sebanyak 212 terbukti tak memenuhi standar mutu, termasuk kandungan air, butir patah, derajat sosoh, dan berat bersih. Bahkan banyak di antaranya dijual dengan label “premium” padahal kualitas dan bobotnya setara atau bahkan lebih buruk dari beras medium. Modusnya pun menjijikkan: dari mencampur beras premium dengan beras murahan, rusak, bahkan ada yang dipoles ulang dengan pemutih atau bahan pengawet untuk menipu tampilan. Ada juga beras subsidi yang dikemas ulang lalu dijual sebagai beras premium, atau kemasan lima kilogram yang isinya hanya empat setengah kilogram. Penipuan ini bukan lagi kelalaian teknis, tapi konspirasi sistematis untuk menghisap miliaran rupiah dari kantong rakyat kecil.
Skema curang ini diperkirakan merugikan konsumen hingga Rp99 triliun per tahun. Konsumen dipaksa membayar harga mahal untuk beras yang seharusnya dijual jauh lebih murah, karena kualitasnya tidak memenuhi standar nasional. Menteri Amran menyebut praktik ini seperti menjual emas 18 karat dengan label 24 karat, satu analogi yang mempertegas betapa busuknya moral pelaku industri pangan yang bermain di ranah dasar kebutuhan hidup rakyat. “Ini penipuan besar-besaran terhadap rakyat. Rakyat dipaksa beli harapan, tapi yang masuk ke piring adalah ilusi,” tegasnya.
Investigasi bermula dari kejanggalan yang dicium langsung oleh Menteri Pertanian. Ia melihat lonjakan harga beras yang tidak sejalan dengan data produksi nasional yang justru menunjukkan surplus. “Seharusnya harga turun, karena produksi tinggi dan stok melimpah. Tapi justru harga melonjak. Ini jelas ada yang tidak beres,” ungkap Amran. Kementerian kemudian menggandeng Satgas Pangan Polri untuk melakukan investigasi laboratorium, yang akhirnya mengungkap bobroknya praktik bisnis sejumlah produsen besar yang selama ini menumpang nama besar dan citra mutu.
Daftar merek yang terlibat pun bukan nama-nama sembarangan. Beberapa bahkan berasal dari korporasi raksasa yang produknya telah beredar luas di seluruh Indonesia. Nama-nama seperti Setra Ramos, Beras Pulen Wangi, Sania, Sovia, Fortune, Ayana, hingga Raja Platinum mencuat sebagai bagian dari merek yang disebut dalam laporan awal. Ritel-ritel besar pun mulai menarik produk-produk ini dari rak mereka seiring viralnya laporan investigasi di media sosial.
Food Station Tjipinang Jaya, PT Belitang Panen Raya, PT Sentosa Utama Lestari (Japfa Group), Wilmar Group, hingga Alfamidi disebut-sebut masuk dalam radar. Tak tanggung-tanggung, semua data ini telah diserahkan langsung ke Kapolri, Satgas Pangan, dan Kejaksaan Agung. “Kami tidak akan pandang bulu. Semua akan diperiksa, dan bila terbukti bersalah, harus ada yang dihukum,” tegas Menteri Amran.
Satgas Pangan Polri kini telah memanggil empat perusahaan produsen beras untuk diperiksa di Bareskrim. Pemerintah menyatakan tidak akan bermain-main dalam urusan ini. Wakil Menteri Pertanian juga menegaskan bahwa upaya penindakan akan dilakukan menyeluruh tanpa diskriminasi. Di tengah harga pangan yang terus meroket, rakyat tidak bisa lagi dijadikan korban permainan pasar yang rakus dan manipulatif.
Namun di balik semua itu, yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa masyarakat selama ini mengeluarkan uang lebih bukan untuk membeli beras terbaik, tapi justru membiayai kejahatan pangan terstruktur. Mereka percaya pada label premium, berharap mendapatkan kualitas terbaik untuk keluarganya, namun yang sampai ke piring adalah nasi dari beras oplosan yang tak layak disebut layak. Skandal ini bukan hanya penipuan terhadap konsumen, tapi juga pengkhianatan terhadap cita rasa keadilan pangan di negeri ini.
Ironisnya, meskipun dari sisi medis beras oplosan mungkin tidak langsung memicu penyakit berbahaya, dokter menyebutkan kualitas gizinya jelas lebih rendah. Kandungan vitamin B1 menurun, dan nasi dari beras oplosan lebih cepat basi. Artinya, meski tidak mematikan, beras oplosan secara perlahan mengikis nilai gizi rakyat dan memaksa mereka mengeluarkan biaya lebih untuk sesuatu yang bahkan tidak memenuhi standar. “Selama beras itu asli dan bukan bahan sintetis, tidak menimbulkan efek fatal. Tapi ini tetap penipuan,” ujar dokter spesialis penyakit dalam, Aru Ariadno.
Kini saatnya negara tidak sekadar menertibkan, tapi mengadili. Skandal ini tidak bisa disapu ke bawah karpet. Harus ada pihak yang diproses secara pidana, izin usaha dicabut, dan kerugian publik diganti. Tanpa itu, krisis kepercayaan terhadap produk pangan akan makin memburuk. Negara harus berdiri tegak, bukan hanya demi kualitas beras, tapi demi martabat rakyat yang selama ini terus-menerus menjadi korban dari rakusnya pasar dan lemahnya pengawasan. (*)