GAYO LUES, BARANEWS | Di atas kertas, PT Gayo Mineral Resources (GMR) hanya sedang menjalankan kegiatan eksplorasi tambang emas. Legal, berdasar izin pemerintah, dan diklaim sesuai prosedur. Tapi di lapangan, cerita yang bergulir jauh dari yang dibangun oleh berkas korporasi. Di lereng Tangsaran, Gayo Lues—sebuah kawasan yang menjadi bagian vital dari Kawasan Ekosistem Leuser (KEL)—eksplorasi yang diklaim resmi itu memunculkan sejumlah pertanyaan serius. Tentang legalitas. Tentang etika. Tentang masa depan.
Investigasi Lembaga Leuser Aceh (LLA) membuka tabir yang selama ini ditutup rapat. Nama blok “Lokop Gayo Lues” yang tertera dalam dokumen PT GMR terbukti menyesatkan. Lokasi aktual bukan berada di Lokop, Aceh Timur, tetapi di Desa Kenyaran, Kecamatan Pantan Cuaca, Gayo Lues. Bahkan peta yang digunakan perusahaan merujuk koordinat dari wilayah di Maluku Utara—lebih dari 3.000 kilometer dari lokasi eksplorasi sesungguhnya. Sebuah anomali geospasial yang mustahil terjadi secara kebetulan. “Ini bukan sekadar salah koordinat. Ini manipulasi untuk mengaburkan lokasi dan menyesatkan publik,” kata Abdiansyah, Sekretaris LLA, dalam pernyataannya tertanggal 25 Juli 2025.
Abdiansyah mempertanyakan dasar hukum eksplorasi itu. “Kalau petanya salah, koordinatnya ngaco, darimana pula jalannya izin ini bisa dianggap legal?” katanya. Ia menyebut ada upaya sistematis untuk menutupi fakta bahwa titik eksplorasi tambang PT GMR sebenarnya menabrak langsung zona hutan lindung, hutan produksi terbatas, kawasan suaka alam, dan bahkan zona inti dari Taman Nasional Gunung Leuser—salah satu benteng terakhir hutan hujan tropis Sumatera yang masih tersisa.
Regulasi seharusnya menjadi pagar kokoh bagi kawasan kritis seperti ini. Tapi dalam kasus GMR, pagar itu seperti dibongkar dari dalam. Aktivitas eksplorasi berjalan tanpa dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang dipublikasikan, tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), tanpa keterbukaan soal koordinat wilayah kerja, dan tanpa konsultasi publik di desa terdampak. Sederet aturan dilanggar: UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, Peraturan Pemerintah No. 104 Tahun 2015, hingga Permen LHK No. P.27 Tahun 2018. Tidak satu pun prosedur itu bisa ditunjukkan secara terbuka oleh pihak perusahaan.
Yang lebih menyakitkan, warga Desa Kenyaran tak pernah diajak bicara. Tak ada musyawarah, tak ada pemberitahuan, tak ada penjelasan apa-apa. Hanya tiba-tiba alat berat muncul, operator bekerja, dan hutan mulai terbuka. Air sungai berubah keruh, debit menyusut, dan suara binatang mulai menghilang dari rimba. “Kami hidup dari air ini, dari kebun ini. Tapi sekarang kami hanya bisa melihat alat-alat itu masuk seperti maling malam hari,” kata salah seorang warga yang tak berani disebutkan namanya.
Pusat operasi PT GMR berada jauh dari lokasi bising mesin dan teriakan satwa yang terusir. Berdasarkan penelusuran LLA, kantor pusat mereka tercatat di Bakrie Tower, lantai 8, Rasuna Epicentrum, Jl. HR Rasuna Said, Jakarta Selatan. Dari ruang ber-AC dan gedung kaca itulah, arah eksplorasi ke jantung Leuser ditentukan—tanpa satu pun konsultasi dengan masyarakat adat yang hidup turun-temurun menjaga hutan di Tangsaran.
Klaim perusahaan bahwa mereka telah mengantongi izin eksplorasi dari pemerintah pusat untuk jangka waktu dua tahun pun makin memicu tanda tanya. Tak satu pun dokumen resmi itu dapat diverifikasi publik. “Kami sudah meminta bukti kepada instansi terkait, tidak ada yang bisa menunjukkan AMDAL-nya, peta wilayah kerjanya saja dipalsukan, izinnya pun tak bisa ditelusuri. Maka izinnya layak dianggap fiktif atau cacat hukum,” tegas Abdiansyah.
Berdasarkan hasil observasi lapangan, eksplorasi tambang itu tidak hanya melanggar administrasi dan hukum lingkungan hidup, tapi juga mengoyak tatanan sosial masyarakat adat. Ketika air sungai mulai tercemar, ketika kebun mulai terganggu, maka yang rusak bukan hanya hutan, tetapi relasi hidup warga dengan tanah leluhur mereka. Tanah yang selama ini menjadi pelindung, berubah jadi sumber ancaman.
LLA secara resmi mendesak agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Balai Gakkum Wilayah Sumatera, dan Gubernur Aceh segera mencabut izin eksplorasi PT GMR. Proses perizinan harus diaudit total oleh Ombudsman Republik Indonesia. Tak berhenti di situ, LLA juga mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk turun tangan mengusut dugaan permainan dalam proses terbitnya izin eksplorasi. “Kami khawatir ada persekongkolan antara birokrasi pusat dan perusahaan untuk memuluskan izin. Jika terbukti, ini jelas masuk ranah tindak pidana korupsi,” tegas Abdiansyah.
Laporan ini juga disampaikan kepada lembaga internasional yang selama ini memantau perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser sebagai bagian dari Tropical Rainforest Heritage of Sumatra (TRHS), yang diakui UNESCO sebagai warisan dunia. “Ini bukan sekadar konflik lokal. Ini pembiaran negara atas perusakan warisan dunia,” katanya.
Skandal GMR menunjukkan bagaimana celah hukum, kelengahan birokrasi, dan permainan peta bisa digunakan untuk melegitimasi perampasan ruang hidup. Jika hari ini pemerintah diam, jika aparat hukum bungkam, maka sejarah akan mencatat bahwa hutan Leuser dijual secara diam-diam—tanpa debat, tanpa izin, tanpa ampun. Sebab siapa pun yang menginjak Leuser tanpa etika, sejatinya telah menginjak leher masa depan kita semua.
Lapporan : Tim Investigasi