Banda Aceh – Ketua Umum Gerakan Pemuda Kota Banda Aceh, Riri Isthafa Najmi menanggapi beberapa isu hoaks yang viral di Media Sosial (Medsos) terkait isu larangan seorang perempuan yang mencalonkan diri sebagai pemimpin atau kepala daerah/negara.
Bahkan ia sangat prihatin terkait salah satu buzzer politik calon kandidat yang berani memotong atau memenggal isi ceramah pendapat ulama kharismatik untuk kepentingan politiknya; yang melarang kepemimpinan seorang perempuan, apalagi kalau maju sebagai pemimpin atau kepala daerah yang dianggap sudah berbuat dosa.
“Saya pikir, tidak ada aturan hukum dan belum ada fatwa ulama yang memang melarang seorang perempuan menjadi pemimpin. Maka sebenarnya sah-sah saja jika perempuan menjadi pemimpin atau mengepalai birokrasi, perusahaan, daerah, bahkan negara. Asalkan memang ia mampu, memiliki kualitas, serta kapabilitas yang cakap dan teruji,” ujar pria yang disapa Rifan Barsela tersebut.
Rifan melanjutkan, Ratu Safiatuddin misalnya, salah satu Tokoh Perempuan Aceh yang sangat berpengaruh dalam sejarah Kesultanan Aceh. Sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan berani, ia memerintah Kesultanan Aceh kala itu dan mengalami masa kemakmuran dan stabilitas ekonomi dan politik. Juga menjadikan Kesultanan Aceh sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan di wilayah Asia Tenggara.
Ia adalah putri dari Sultan Iskandar Muda, salah satu sultan terbesar dalam sejarah Aceh. Dengan dukungan para bangsawan dan ulama, Ratu Safiatuddin berhasil memantapkan posisinya sebagai pemimpin perempuan terhebat kala itu.
“Dari berbagai literatur kita baca dan dengar, bahwa Ratu Safiatuddin dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan cerdas. Pendidikan yang ia terima sangat lengkap. Mencakup ilmu agama, sastra, dan strategi pemerintahan, yang menjadikannya menjadi pemimpin perempuan hebat, pada masa itu,” ujar Rifan Barsela.
Ratu Safiatuddin memerintah selama lebih dari tiga dekade. Masa kepemimpinannya dianggap sebagai salah satu periode keemasan dalam sejarah Kesultanan Aceh. Ia berhasil menjaga stabilitas politik internal dan memperkuat posisi Aceh sebagai kekuatan maritim dan pusat perdagangan dan kebudayaan Islam di Asia Tenggara.
Di bawah kebijakan kepemimpinannya, Aceh terus menjadi pusat perdagangan penting. Ia menjalin hubungan diplomatik dan kerja sama dagang dengan berbagai negara seperti Turki, India, Iran, dan berbagai kerajaan besar di Nusantara.
“Di bidang pendidikan misalnya, Ratu Safiatuddin juga fokus pada pendidikan dan agama. Ia juga memperhatikan pendidikan dan pengajaran agama Islam. Banyak ulama besar yang diundang ke Aceh untuk mengajar dan memberikan pencerahan kepada masyarakat,” ungkap Rifan.
Selain itu, Pembangunan Infrastruktur. Safiatuddin berfokus pada pembangunan infrastruktur. Termasuk memperbaiki pelabuhan dan membangun fasilitas umum yang mendukung aktivitas perdagangan dan kesejahteraan masyarakat.
“Ratu Safiatuddin adalah tokoh perempuan yang luar biasa dalam sejarah Aceh dan Indonesia. Kepemimpinannya yang bijaksana, kebijakannya yang progresif, dan keberaniannya dalam menghadapi tantangan yang mampu menjaga stabilitas menjadikannya salah satu pahlawan yang patut dihormati dan diingat oleh bangsa dan rakyat Aceh,” ujar Rifan.
Selain itu, keberhasilannya sebagai kepemimpinan perempuan telah menginspirasi banyak generasi hebat berikutnya. Menunjukkan bahwa kepemimpinan perempuan juga memiliki andil dan kapasitas untuk memimpin dan membawa perubahan positif bagi perubahan suatu daerah, bangsa, dan negara.
“Sebagai pemimpin wanita yang sukses dalam karir yang cemerlang pada saat itu, ia telah membuka jalan bagi banyak kepemimpinan perempuan lainnya untuk berani mengambil peran penting dalam berbagai bidang kehidupan. Baik dari segi ekonomi, sosial, bahkan politik,” tutup Rifan.
Ratu Safiatuddin meninggal pada tahun 1675, meninggalkan warisan yang kuat dan berpengaruh. Setelah wafatnya, Aceh menghadapi berbagai tantangan dan ekosistem baru. Namun kepemimpinan dan kebijaksanaannya tetap dikenang sebagai bagian dari sejarah gemilang Aceh pada masa lalu.
Peninggalannya bukan hanya berupa kebijakan dan pembangunan. Tetapi juga sebagai simbol perjuangan dan kemampuan stabilitas kepemimpinan perempuan dalam dunia pemerintahan, perdagangan, dan politik.