Oleh: Hasmiati A.md (Pemerhati sosial)
Keracunan massal siswa penerima program MBG terjadi di berbagai daerah di Indonesia termasuk Balikpapan dan Samarinda. Dikabarkan ada video siswi SMK yang diduga keracunan usai menyantap MBG mendapat respons dari warga Balikpapan. Mereka menuntut pemerintah segera bertanggung jawab dan melakukan evaluasi total terhadap program MBG yang dianggap penuh kontroversial itu.
Selanjutnya program MBG di Samarinda diperoleh informasi adanya makanan yang cenderung basi di salah satu sekolah menengah kawasan Sungai Pinang. Pemerintah setempat pun diminta evaluasi dengan melibatkan berbagai elemen turun tangan mengatasinya.
Padahal program MBG ini digadang-gadang sebagai program unggulan dan dibanggakan yang diklaim mampu meningkatkan kualitas kesehatan dan gizi anak-anak. Juga sebagai program solusi masalah stunting yang tinggi.
Sejak awal program populis MBG sudah menyimpan berbagai problem yang serius. Mulai dari anggaran negara yang menelan dana 1,2 T yang diambil dari APBN hingga memangkas anggaran yang seharusnya untuk pendidikan dan kesehatan rakyat.
Penunjukan mitra pelaksana dan pengadaan bahan baku MBG yang tidak transparan bahkan tercium aroma kongkalikong para pejabat mendominasi. Dapat dikatakan program MBG ini bercorak program populis yang tujuannya memenangkan hati rakyat untuk melegitimasi kursi kekuasaan sehingga pelaksanaannya wajib dijalankan walaupun tanpa pengkajian mendalam apakah nanti berhasil atau tidak itu urusan belakangan.
Jelaslah bahwa program MBG ini lahir dari sistem Kapitalisme Demokrasi Sekuler. Negara hanya berperan sebagai regulator bagi korporasi / swasta yang sarat dengan kepentingan bisnis bukan kualitas kesehatan masyarakat.
Demikianlah program ataupun kebijakan ditetapkan seringkali hanya parsial bukan solusi fundamental. Padahal pemenuhan gizi anak adalah tugas negara dengan menciptakan lapangan kerja bagi seluruh kepala keluarga sehingga mereka bisa memenuhi gizi anggota keluarganya. Diperparah lagi penerapan sistem politik demokrasi meniscayakan penguasa hanya fokus pada pencitraan daripada memenuhi kebutuhan rakyat.
Berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Islam memiliki mekanisme untuk memenuhi gizi generasi. Tentu saja dengan ketentuan dasar syariat Islam. Negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap kepala keluarga agar bisa memenuhi kebutuhan gizi keluarganya.
Sistem Islam memiliki sumber pemasukan negara yang berasal dari kekayaaan alam yang melimpah dan ditetapkan sebagai milik umat. Negara wajib mengelolanya untuk kepentingan rakyat melalui mekanisme baitulmal. Tidak hanya SDA, pos pemasukan negara pun jumlahnya sangat banyak. Misalnya, ada pos anfal, fai, ganimah, kharaj, khumus, jizyah, dll. Sudah dapat dibayangkan modal negara yang besar dan melimpah ruah dapat memakmurkan rakyat. Jangankan MBG negara dengan sistem Islam dapat mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan sehingga gizi makanan per kepala rakyatnya dapat terpenuhi dengan baik.
Pemimpin dalam Islam tidak mementingkan pencitraan, melainkan nasib umat karena dibangun atas paradigma riayah (pengurus) dan Junnah (pelindung) rakyat di atas dasar syariat Islam maka seluruh kebijakannya menuntaskan persoalan di berbagai bidang kehidupan termasuk pemenuhan gizi umat.
Wallahu a’lam bissowab














































