Banda Aceh – Politisi Muda Afdhal Khalilullah akhirnya meninggalkan partai Golkar yang sudah membesarkannya dan memilih masuk masuk Gerindra agar bisa maju di Pilkada Banda Aceh 2024 mendatang. Sebelumnya Afdhal merupakan Ketua Bidang DPD Partai Golkar Aceh dan terakhir menjabat sebagai Wakil Ketua Bidang OKK DPK Kosgoro Aceh periode 2020-2025.
Keputusan Afdhal yang memilih melompat partai menjelang Pilkada 2024 demi tahta calon wakil walikota tersebut dinilai mencerminkan lemahnya integritas dan loyalitasnya sebagai seorang kader dan politisi muda.
“Memang di dalam politik semua hal sah-sah saja terjadi, namun bagi seorang politisi muda tentunya integritas dan loyalitas perlu dipupuk, sehingga politisi muda yang berkarier di dunia politik merupakan kader-kader yang berkarakter dan berintegritas serta menanamkan nilai-nilai loyalitas,” ungkap koordinator Gerakan Mahasiswa Peduli Kota (GMPK) Khairul Arifin SH.I, Selasa 13 Agustus 2024.
Kata Khairul, fenomena pindah partai atau sering disebut masyarakat sebagai “kutu loncat” memang dianggap biasa terjadi dalam dunia perpolitikan. Salah satu penyebab dari munculnya fenomena “kutu loncat” adalah landasan ideologi kepartaian yang lemah, yang membuat seorang politisi muda yang pragmatis menjadikan partai politik tak lebih dari sebatas alat untuk merebut kekuasaan, tanpa adanya kecintaan mendalam terhadap nilai-nilai perjuangan suatu partai.
“Memang di satu sisi Afdhal Khalilullah berhasil menggeser kader-kader internal Gerindra untuk Pilkada 2024. Bahkan menunjukkan bahwa partai kader seperti gerindra di Banda Aceh juga tidak terlalu mementingkan kader yang telah lama berjuang di partai tersebut, padahal masih ada nama Fachrul Razi yang sebelumnya caleg DPR RI Gerindra, atau Hasanuddin yang juga pernah berjuang bersama Gerindra. Ini juga tentunya bagian penilaian di publik,”ujar Pemerhati muda politik dan sosial Aceh itu.
Khairul menjelaskan, Bila dilihat dari strategi politik yang pragmatis dan opurtunis, perpindahan seorang kader partai ke partai lain adalah hal yang lumrah, dan diperbolehkan. Namun apakah wajar dan beretika? ini yang tentu menjadi sebuah sorotan bagi publik tentang kepindahan politisi ke partai lain.
Kutu loncat ini memberikan beberapa dampak bagi partai yang ditinggalkan antara lain; pertama, kehilangan seorang kader yang telah dibesarkan dan diberikan berbagai kesempatan untuk menduduki sebuah jabatan. Kedua dipertanyakannya pola kaderisasi partai hingga ada seorang kadernya yang “berkhianat” dan tidak menjiwai idealisme partai sehingga dengan mudah pindah partai. “Ada satu hal menjadi sebuah pertanyaan besar, akan seperti apa sebuah daerah, bila seorang kutu loncat yang memimpin daerah tersebut? Jika partai yang membesarkannya saja ditinggalkan apalagi nanti rakyatnya. Tentunya fenomena seperti ini jadi ikhtibar bagi para politisi muda lainnya untuk bersikap, jangan sampai karena haus dengan tahta kekuasaan justru partai yang membesarkan pun di tinggalkan,” katanya.
Menurut Khairul, ada asumsi yang mengatakan bahwa seorang akan memimpin sesuai dengan karakter yang ia miliki, maka setidaknya ada empat hal yang mungkin terjadi pada sebuah daerah bila seorang kutu loncat yang memimpin.
1. Miskin Ideologi. Tak bisa di pungkiri bahwa ideologi adalah landasan berpikir, bertindak, memandang dan memutuskan dari seorang pribadi. Bila seseorang tidak memiliki ideologi, akan sangat mudah baginya untuk digoyang atau tidak konsisten akan kebijakannya.
2. Tidak menghargai proses. Indikasi dari seorang kutu loncat adalah tidak menghargainya sebuah proses, termasuk didalamnya proses kaderisasi, atau jika di transformasikan dalam bahasa pembangunan maka terminologi yang paling tepat adalah tidak menghargai proses pembangunan dari bawah;
3. Mudah Berkhianat. Seorang di beri gelar kutu loncat bila ia sudah dibesarkan oleh sebuah partai, diberikan berbagai fasilitas dan bahkan jabatan strategis, namun ia memilih meninggalkan partainya atau berkhianat dari partainya untuk mencapai sebuah tangga keberhasilan yang lebih tinggi. Menurut orang bijak, tidak ada yang lebih penting dalam dunia politik selain dari integritas, yang menggambarkan keloyalan dan kesetiaan, serta kejujuran dan keberanian seorang politisi. Seorang kutu loncat yang begitu mudahnya berkhianat dari sebuah keluarga/partai yang telah membesarkannya adalah sebuah indikasi ia tidak memiliki INTEGRITAS.
“Tentunya kita berharap politisi-politisi muda di Aceh dapat melihat fenomena politik seperti ini secara utuh, jangan sampai karena ambisi akan tahta kekuasaan kita rela mengabaikan nilai-nilai di dalam berpolitik,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, Afdhal Khalilullah merupakan salah satu bakal calon wakil walikota yang disukan berpasangan dengan baca Illiza Saaduddin Djamal. Untuk mendapatkan tiketnya maju pada Pilkada 2024, Afdhal rela meninggalkan partai yang sebelumnya membesarkannya dan masuk ke Gerindra demi mendapatkan tiket dukungan maju Pilkada 2024 dengan Illiza. Sebelumnya, Afdhal juga sempat disebut-sebut hampir berpasangan dengan bacawalkot Aminullah Usman, namun khabarnya karena survey yang kurang meyakinkan, maka Aminullah memilih untuk mencari koalisi dengan kader partai lain yang dilihat lebih potensial dan terbukti secara integritasnya dan punya rekam jejak pengabdian di masyarakat.