JAKARTA | Ekonom senior Rizal Ramli menyatakan pada era Joko Widodo (Jokowi) terjadi penurunan nilai demokrasi di Indonesia, khususnya DPR. Menurutnya, yang terjadi saat ini DPR hanya sekedar jadi stempel.
Mantan Menko Perekonomian ini mengungkapkan saat ia menjabat sebagai Penasehat Ekonomi Fraksi ABRI dan DPR periode tahun 1993-1998, anggota DPR saat itu lebih menguasai masalah dan lebih kritis dibandingkan para anggota DPR saat ini.
“DPR waktu itu boleh mengkritik menteri-menteri dan kebijakan mereka. Yang tidak boleh hanya kritik Presiden Soeharto dan keluarganya,” kata RR demikian ia lebih akrab dikenal publik.
Ia menyatakan banyak kebijakan pemerintah yang seharusnya dapat dibahas DPR. “Yang terjadi saat ini seolah-olah presiden boleh melakukan apa saja, DPR hanya sekedar jadi stempel,” ungkapnya.
Ia mengemukakan jika ini terus berlanjut maka akan terjadi penurunan nilai demokrasi. “Demokrasi di era Jokowi, fungsi kontrol DPR dilemahkan. Negara bisa ambyar, karena diacak-acak, dikelola secara ngawur dan ngasal,” tandasnya.
Peneliti senior Komite Pemantau Legislatif (KOPEL) Syamsudin Alimsyah sepakat dengan pernyataan Rizal Ramli. Bahkan dia menilai DPR saat ini ibaratnya antara ada dan tiada dari sisi kinerja. DPR ada dalam absensi dan terima gaji tapi alpa ketika ingin mengecek kinerja menjalankan fungsinya.
“DPR saat ini terjebak dalam bangunan koalisi politik parpol. Mereka salah menafsirkan seolah tak ubahnya penjaga gawang pemerintah di DPR manakalaa ada kritik dari pihak luar atau masyarakat,” ujar Syamsudin kepada Media, Minggu (13/11/2022).
Fakta DPR saat ini sebagai penjaga gawang pemerintah, sambung Syamsudin, bisa dilihat dari berbagai kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat tapi kemudian mulus saja tanpa rintangan dari DPR. Kenaikan harga BBM dan UU Omnibus Law, diantaranya yang menunjukkan DPR tidak pro rakyat.
Syamsudin meminta agar DPR bisa sesuai fungsinya kembali maka publik harus diedukasi terus bagaimana secara kritis bisa memanfaatkan pemilu sebagai momen referendum dalam menentukan hak pilihnya. Apalagi saat ini pemerintahan mengklaim demokratis tapi tidak menjalankan demokrasi secara substansial.
“Tidak menjadi masalah koalisi dalam pemerintahan. Namun posisi kelembagaan DPR sejatinya tidak direduksi karena kekuasaan. Saat ini yang terjadi koalisi saling menguntungkan,” tandasnya.
Oligarki
Terpisah, Direktur Political Public and Policy Studies (P3S) Jerry Massie juga mendukung pernyataan Rizal Ramli terkait DPR hanya jadi tukang stempel. Karena DPR yang sejatinya memiliki fungsi kontrol, legislasi sampai budgeting ternyata belum mampu berbuat banyak terhadap pemerintah saat ini. Sehingga terkesan DPR saat ini hanya menjadi tukang stempel atas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak ke rakyat.
“Ada banyak persoalan yang krusial yang harus di nomorsatukan atau yang lebih di utamakan oleh DPR. Tapi DPR saat ini malahan tak menggubris atas kebijakan yang tidak pro rakyat itu,” ujarnya.
Jerry menunjukkan hasil dari DPR yang tidak pro rakyat itu yakni UU Omnibus Law. Padahal isi dari pasal – pasal dari UU Omnibus Law tak berpihak pada rakyat atau kaum buruh. UU Omnibus Law sangat jelas merugikan buruh tapi DPR tak melihat atas keburukan UU Omnibus Law terhadap para buruh.
“Belum lagi UU Omnibus Law dibidang agraria sampai pengelolaan Minerba,” tandasnya.
Dia mengkhawatirkan DPR saat ini terkesan dikendalikan oligarki. Padahal imbas dari pengaruh oligarki sangat berbahaya bagi rakyat. Imbasnya saat ini ada undang-undang yang dimanfaatkan kelompok tersebut untuk memuluskan proyek – proyeknya.
“Memang keberpihakan DPR pada rakyat hanya stempel karena mereka (DPR) belum mampu menyerap aspirasi warga di dapilmya,” tandasnya. “Ketegasan kawan-kawan di DPR masih belum nampak ini perlu terus diperbaiki,” tambahnya. (ES)