Banda Aceh – Sejalan dengan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, maka pelaksanaan audit investigasi menjadi sangat penting sebagai dukungan untuk mengedepankan peran aparat pengawasan baik itu BPK, Inspektorat maupun BPKP dalam rangka memperkuat implementasi sistem pengendalian intern dalam mencapai akuntabilitas pengelolaan keuangan negara dan pengelolaan kepemerintahan yang baik dan bersih (good and clean governance).
“Melihat kondisi pengelolaan keuangan Aceh Selatan tahun anggaran 2023 dan 2024 yang berpolemik, maka kami meminta agar dilakukan audit investigasi baik itu oleh BPKP sebagai auditor internal ataupun BPK sebagai auditor eksternal,” ungkap Koordinator Gerakan Pemuda Negeri Pala (GeRPALA), Fadhli Irman, Selasa, 23 Desember 2024.
Dia menjelaskan, audit investigatif atau audit investigasi merupakan audit yang dilakukan dalam rangka mengungkapkan terjadi tidaknya penyimpangan/fraud maupun tujuan spesifik lainnya. Penyimpangan dalam konteks audit adalah kekeliruan (error) dan kecurangan (fraud). Menurutnya, hal yang membedakan antara kedua penyimpangan tersebut, diantaranya yaitu unsur kesengajaan atau tidak sengaja.
Irman menyebutkan, keuangan daerah harusnya dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efektif, efisien, ekonomis, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan azas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.
“Kita minta kepada BPKP dan BPK agar dapat segera melakukan audit investigasi untuk menelusuri aliran-aliran uang dari Kas Daerah dialihkan kemana. Ini harus dijelaskan secara terang benderang ke masyarakat, agar semua jelas,” tegasnya.
Irman menjelaskan, audit investigasi terkait polemik kas daerah Aceh Selatan tahun 2023 dan 2024 itu hendaknya dilakukan sejak mulai dari persoalan pendapatan daerah hingga belanja daerah.
Menurut GerPALA, jika dilihat realisasi PAD Aceh Selatan pada tahun anggaran 2022 hanya sebesar Rp 163,71 Milyar, kemudian dengan pada tahun anggaran 2023 Pemkab Aceh Selatan menetapkan proyeksi target PAD sebesar Rp. 261,11 Milyar, dimana terjadi selisih yang begitu besar mencai Rp 97,5 milyar lebih. Alhasil pada tahun 2023 ternyata realisasi PAD Aceh Selatan hanya sebesar Rp 176,24 persen atau sekitar 62 persen dari target yang ditetapkan.
Mirisnya lagi, kata Irman, pada tahun anggaran 2024 target PAD Aceh Selatan diturunkan kembali Rp 160 Milyar, namun hingga awal desember 2024 dikhabarkan target PAD yang tercapai baru berkisar 50 persen dari target. “Hal menunjukkan adanya indikasi persoalan serius dalam pengelolaan pendapatan daerah, sehingga harus dilakukan audit investigasi terkait hal ini,”ujarnya.
Dia melanjutkan, akhibat perencanaan dan tata kelola keuangan daerah yang ugal-ugalan, pada tahun anggaran 2023 kabupaten berjuluk negeri 5pala itu mengalami defisit riil mencapai Rp 142,8 Milyar dan utang teraudit mencapai Rp 122,5 Milyar yang membebani APBK Aceh Selatan 2024.
“Kemudian jika kita lihat dari rencana belanja tahun anggaran 2024 sebesar Rp. 1.562.492.496.914 diusulkan pendapatan sebesar Rp. 1.499.390.701.145, maka diproyeksikan terjadi defisit sebesar Rp 61 M. Namun demikian dari Rp. 160 Milyar proyeksi pendapatan asli daerah (PAD) yang ditetapkan pada tahun anggaran 2024 juga diduga capaiannya tidak maksimal dan jauh panggang dari api maka potensi defisit dan utang Aceh Selatan pada tahun anggaran Aceh Selatan diprediksi akan kembali terjadi. Apalagi, tak menutup kemungkinan pendapatan dana transfer sebesar Rp.1,2 Triliun tak tercapai target, jika itu terjadi maka akan semakin membebani keuangan Aceh Selatan tahun anggaran 2025 nanti. Bahkan, menurut khabar beredar di masyarakat, menjelang tutup anggaran tahun anggaran 2024 sekitar seribuan surat perintah membayar (SPM) masih menggantung dan tak menutup kemungkinan ratusan SPM akan gagal bayar pada tahun anggaran 2024 karena tak tersedianya anggaran,” bebernya.
Lanjut Irman, hal lainnya yang perlu diperhatikan dalam audit investigasi yakni berkaitan dengan pembayaran belanja kegiatan daerah yang diduga sangat bobrok sehingga terjadinya kesalahan penggunaan dana eanmark. “Berdasarkan pemeriksaan BPK RI pada tahun anggaran 2023 lalu terjadi kesalahan penggunaan dana eanmark yang sudah ditentukan peruntukannya mencapai Rp 73,9 Milyar dan kejadian tersebut juga terjadi pada tahun anggaran 2024, dimana dana eanmark yang bersumber dari dana alokasi khusus (DAK) Insentif Fiskal dan sebagainya juga terjadi kesalahan penggunaan. Ini juga persoalan serius yang disebabkan oleh bobroknya pengelolaan keuangan daerah di Aceh Selatan,” sebutnya.
Kata Irman, seharusnya di tengah carut marutnya persoalan keuangan daerah ini, DPRK Aceh Selatan menggunakan fungsi pengawasannya dengan membentuk pansus dan menggandeng institusi seperti BPK RI sebagai auditor eksternal atau BPKP sebagai auditor internal untuk melakukan audit investigasi. Namun, hal tersebut diyakini tak akan dilakukan oleh DPRK Aceh Selatan mengingat kondisi parlemen Aceh Selatan yang terkesan lumpuh dan terjebak dengan dinamika anggaran pokok pikiran (pokir) semata. Apalagi, jika berharap Pj Bupati untuk menyurati BPK atau BPKP meminta dilakukan audit investigasi, hal itu semakin tak mungkin.
“Untuk itu, demi menyelamatkan keuangan daerah Aceh Selatan, maka kami berharap BPK RI dan BPKP untuk sesegera mungkin melakukan audit investigasi terhadap kasda Aceh Selatan tahun anggaran 2023-2024, sehingga ke depannya di masa pemerintahan baru di tahun 2025 mendatang akan dapat dilakukan langkah-langkah strategis dan terukur untuk memulihkan kondisi keuangan daerah,” tutupnya.